Kesombongan dan keangkuhan hanya membawa akhir yang buruk.
oleh: Hua Chun-Wu
GENTAROHANI.COM — Pada suatu waktu, ada seorang jenderal yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Dia sangat kuat sehingga dapat mengangkat tempat dupa dari perunggu seberat seribu kati (sekira 600 kg) dengan sebuah tangan.
Sang jenderal memiliki seorang bawahan yang penjilat, sehingga walalupun jenderal tidak melakukan apa pun, masih tetap ada yang memuji-muji dirinya. Sang jenderal ingin dijuluki sebagai "Pahlawan Terbesar di Dunia", bawahan penjilat itu dengan segera menyebarkan berita agar julukan baru sang jenderal disebarluaskan. Sang jenderal sangat puas sehingga dia mengambil seguci arak dan minum sampai mabuk.
Keesokan paginya, dia menemukan dirinya tidur di lantai karena mabuk, masih memeluk guci arak. Seekor ayam berkokok sangat keras dan terompet penanda pagi bergema. Tapi sang jenderal tetap tertidur. Sejak saat itu dia hidup berfoya-foya dan tidak tertarik lagi dengan semua seni perang.
Waktu berlalu. Tombak sang jenderal berkarat dan diliputi debu, di samping itu tikus membuat sarang di sekitar tempat panahnya.
Suatu hari di musim semi, sang jenderal dan bawahan penjilatnya berkeliling dengan kereta. Matahari bersinar hangat dan sang jenderal bernyanyi dengan gembira. Ketika mereka melewati sebuah desa, mereka melihat seorang petani yang sedang mengangkat beban berat. Melihat beban itu, sang jenderal menaksir sekira sepuluh kati. Dia ingin memamerkan bahwa dia mampu melakukannya juga. Dia bahkan berpikir akan dapat melakukan lebih mudah dari si petani, dan menambah bebannya menjadi dua puluh kati. Tapi, dia sangat malu, dia menemukan bahwa dia tidak dapat mengangkat lebih tinggi dari perutnya.
Untuk melindungi dari rasa malu, sang jenderal meminta untuk bertanding memanah dengan si petani. Kebetulan pada saat itu ada sekawanan angsa yang terbang melintas di atas kepala. Sang jenderal membidikan panahnya dengan susah payah dan melepaskan tiga buah anak panah secara berurutan. Tetapi karena jarak yang terlalu dekat, kawanan angsa malah menukik ke bawah dan menangkap anak panah di paruh mereka, dan membawanya pergi.
Walau kesal dengan pelajaran ini, jenderal tidak jera dan tetap hidup dalam kemewahan. Pada saat ulang tahunnya, dia mengundang rakyat banyak untuk berpesta. Pesta diadakan dengan sangat meriah, arak disuguhkan dengan gratis. Tiba-tiba ada seorang mata-mata yang berlari masuk ke pendopo dengan membawa berita. Bahwa musuh mulai menyerang dan mereka sudah sangat dekat dan berjarak lima puluh li (satu li sekira 500 meter) saja dari kota.
Sang jenderal tidak percaya dengan berita tersebut. Dia berpikir, musuh mana yang berani menyerang daerah kekuasaannya? Tidak berapa lama kemudian suara peperangan terdengar sampai ke dalam pendopo. Ternyata berita dari mata-mata itu benar adanya. Sang jenderal merasa sangat heran. Para tamu mulai panik dan kekacauan mulai terjadi.
Sang jenderal segera mengambil senjatanya, tapi tombaknya telah diliputi debu dan seluruh panahnya terlah menjadi berkeping-keping. Semua pelayannya telah melarikan diri, jadi dia mencoba mengasah tombaknya sendiri. Tapi ketika dia meletakan tombaknya di atas batu asah, tombak itu patah menjadi dua.
Kota telah terbakar. Hiruk pikuk peperangan terdengar di setiap penjuru. Sang jenderal berteriak meminta tolong, tapi tidak ada jawaban. Hanya gema dari suaranya sendiri yang terdengar. Dia dikelilingi oleh tembok besar. Riuh peperangan mulai terdengar makin dekat.
Dengan putus asa, sang jenderal mencoba membuat lubang di dinding belakang istana. Tetapi rupanya tentara musuh telah menunggu di balik dinding dan langsung menangkapnya.
Inilah akhir tragis dari "Pahlawan Terbesar di Dunia". Tak ada yang tahu pasti nasib dari sang jenderal selanjutnya, tapi yang jelas, bahwa kesombongan dan keangkuhan hanya membawa akhir yang buruk. (bwt)
Diterbitkan di Genta Rohani karya ke-122 Juli 1997
KOMENTAR