Penanaman keyakinan dan kepercayaan sebagai iman, sangat penting bagi umat beragama, sebagai langkah awal agar manusia taat mengikuti ajaran agama, sehingga mau belajar, mau meneliti dan mau melatih diri, membina dirinya.
‘Bila tidak mempunyai keyakinan benar, bagaimana ia mempunyai pendirian teguh?’
(Mengzi VI B : 12)
‘Hanya orang yang benar-benar penuh kepercayaan suka belajar, baharulah ia dapat memuliakan Jalan Sucinya hingga mati.’
(Sabda Suci VIII : 13)
Memang pada awal usia dini proses peralihan dari anak remaja sampai dewasa itu, kematangan akal budinya belum berkembang matang. Menjalankan pendidikan di masa lalu menggunakan cara 誠 Cheng ini, dengan menanamkan keimanan. Maka Kongzi ketika usia 15 tahun teguh dalam belajar. (Sabda Suci II : 4).
Belajar di sini adalah cara belajar dengan metode deduktif, belum ke taraf penelitian. Belajar di sini adalah menerima semua ajaran-ajaran, prinsip-prinsip, rumusan-rumusan, postulat-postulat, formula-formula yang ada dalam naskah-naskah kitab suci. Cara ini adalah dasar awal pendidikan kemanusiaan dengan menerima dan menghafal seluruh prinsip-prinsip dasar agama, agar kelak menjelang dewasa mampu berpikir matang tentang moral, ia memiliki bekal tindak lanjut lebih mendalam dengan ‘meneliti dan berpikir’.
Belajar di sini adalah cara belajar dengan metode deduktif, belum ke taraf penelitian. Belajar di sini adalah menerima semua ajaran-ajaran, prinsip-prinsip, rumusan-rumusan, postulat-postulat, formula-formula yang ada dalam naskah-naskah kitab suci. Cara ini adalah dasar awal pendidikan kemanusiaan dengan menerima dan menghafal seluruh prinsip-prinsip dasar agama, agar kelak menjelang dewasa mampu berpikir matang tentang moral, ia memiliki bekal tindak lanjut lebih mendalam dengan ‘meneliti dan berpikir’.
Bertitik tolak dari Iman, ketika tumbuh akal budi yang matang, secara bertahap didorong untuk belajar dan berpikir secara bersamaan, dan dilanjutkan untuk melakukan penelitian, sehingga memperoleh kesadaran, atau pengertian (Ming 明).
Guna menemukan kebenaran sejati, belajar dan berpikir adalah suatu pasangan yang terus menerus dilakukan manusia.
‘Belajar tanpa berpikir, sia-sia dan berpikir tanpa belajar, berbahaya.’
(Sabda Suci II : 15)
Belajar adalah cara memperoleh pengetahuan, dan untuk memperoleh pengetahuan yang benar ia harus menggunakan sarana berpikir, jika tidak akan sia-sia, karena tidak maksimal dalam mencukupkan pengetahuan kebenaran sejati.
Pada umumnya orang belajar tidak mau berusaha berpikir tentang kebenarannya, dan merasa cukup dengan pengetahuan yang diperolehnya. Apalagi jika kurang diaplikasikan dalam kebiasaan hidup sehari-hari, sehingga apa yang dipelajari menjadi sia-sia saja. Dan yang paling berbahaya adalah salah menafsir suatu ajaran agama, sebagai akibat pemahaman yang sepotong-sepotong.
Dalam mempelajari ajaran agama Khonghucu tidak boleh hanya sebagian-sebagian atau hanya hanya satu dua kitab saja tetapi harus merangkum seluruh kitab suci Ru, Si Shu Wu Jing, sehingga memperoleh pemahaman yang benar baik dari sudut agama maupun filsafat.. Minimal paham prinsip-pinsip agama yang ada di dalam Si Shu (Kitab yang empat). Kitab Suci sekalipun adalah hasil karya para Nabi, tetap manusia berkewajiban untuk menguji kebenarannya. Bukan karena tidak percaya, tetapi untuk memberi keyakinan dan kepecayaan lebih mendalam.
Pengenalan Khonghucu di dunia Barat hanya sebatas filsafat, karena acuan yang dipelajarinya hanya Sabda Suci (Lun Yu), dengan sendirinya nafas keagamaan tidak akan nampak, bahkan di negeri Tiongkok sendiri (asalnya agama Khonghucu), Tiongkok dengan idiologi negaranya komunis, sama sekali tidak tersentuh dengan masalah keimanan agama. Manusia hanya di tuntut untuk berbudi perkerti tanpa keyakinan dan kepercayaan kepada Tian, yang absolut mutlak mempertanggung jawabkan pada Nya.
Xing adalah sesuatu yang bersifat rohaniah, yang muncul dari dalam hati nuraninya yang paling dalam. Walaupun manusia belum belajar guna mengerti/memahami, apa dan bagaimana manusia. Atau katakanlah orang yang tidak berpendidikan atau tidak sekolah, tidak belajar dan tanpa pengetahuan. Karena Xing adalah sesuatu yang melekat sejak lahir sebagai hukum kodrat, tetap saja ia tidak suka jika diperlakukan dengan tidak manusiawi, tetapi sebaliknya manusia sangat suka diperlakukan dengan baik dan manusiawi. Inilah perbedaaan antara hukum Tian dengan Hukum positif.
Hal-hal rohani yang berhubungan dengan benih-benih kebajikan, dalam kehidupan bernegara mengandalkan hukum positip buatan manusia. Pada kenyataannya semua itu bisa dilanggar, apalagi pelanggaran hukum positip bisa dijadikan ajang bisnis, yang salah jadi benar, yang benar jadi salah. Ketidakadilan seperti ini menimbulkan masalah-masalah sosial yang serius yang menyangkut kemanusiaan. Karena benih kebajikan adalah karunia Tian sebagai hukum kodrat yang melekat pada manusia, hal ini berakibat manusia akan menjadi kehilangan sifat-sifat kodratinya, manusia yang manusiawi.
Suatu kehidupan masyarakat yang demikian pasti banyak perbuatan-perbuatan manusia yang tidak manusiawi, tindak kriminal, kejahatan, pencurian, perampokan, pemerasan, pelecehan seksual, eksploitasi manusia, perdagangan manusia, narkoba, perbudakan, korupsi, suap dan sebagainya. Cukupkah para penegak hukum menjaga keamanan rakyat hanya mengandalkan peraturan/undang-undang/hukum positif? Justru seharusnya semua peraturan hukum negara untuk melindungi rakyat harus berdasarkan sumber hukum kodrati manusia ini. Tidaklah cukup hanya dengan hukum positif buatan manusia, ada hukum yang lebih ditakuti rakyat yaitu hukum Adi Kodrati, Tian. Rakyat jangan ditakuti oleh hukum positif tetapi harus takut pada Hukum Tian, karena hukum positif hanya membuat rakyat kehilangan harga dirinya, jika ditakuti dengan Hukum Tian, manusia merasa bangga taat pada Tian, dan mendorong manusia untuk berbuat kebajikan.
‘Takut akan kemuliaan Tian memberi perlindungan sepanjang masa.’ (Mengzi I B:3:3)
“Diatur dengan undang-undang dilengkapi dengan hukuman, menjadikan rakyat berusaha menghindarinya dan kehilangan harga diri.”
(Sabda Sucii II : 3)
Kemuliaan Tian ini adalah tentang kekuasaannya yang memiliki hukum tetap, tidak berubah, pasti dan berlaku abadi selamanya. Iman adalah keyakinan dan kepercayaan yang di terima dari suatu ajaran agama. Semua prinsip-prinsip ajaran tersebut diterima begitu saja sebagai dogma, dengan apriori bahwa prinsip-prinsip itu sudah benar. Tetapi dalam agama Khonghucu tidak boleh bersikap demikian. Pada saatnya kelak ia harus mencari tahu dengan meneliti dan berpikir tentang kebenaran prinsip-prinsip yang telah diterimanya itu. Umat Ru tidak boleh hanya percaya begitu saja ia harus berpikir dan menelitinya.
Mengzi mengingatkan pada kita : “Kalau Kitab itu harus dipercaya begitu saja, lebih baik tidak usah ada Kitab.” (Mengzi VII B : 3)
Dengan kata lain kita juga wajib menguji suatu kebenaran dengan melalui berpikir dan menelitinya. Bukan suatu dosa jika manusia mempertanyakan kebenaran suatu ajaran agama, guna mendapatkan Kebenaran sejati yang sesuai dengan Hukum Tian.
Iman ditanamkan sejak awal, selanjutnya wajib meneliti hakekat tiap perkara termasuk semua ayat-ayat kitab suci, diuji kebenarannya sehingga memperoleh pengetahuan, pengertian dan kesadaran yang benar sesuai dengan Firman Tian. (bwt)
KOMENTAR