|TERBARU     /fa-fire/_$type=slider$sn=hide$cate=0$show=home$va=0$d=0$cm=0

Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia

Masa depan kebebasan beragama tidak dapat dilepaskan dengan kerukunan, keduanya seperti keping mata uang, kebebasan beragama adalah tidak tak terbatas. Maka batas-batas itu yang perlu disepakati bersama, bukan sekedar dengan undang-undang tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai falsafah negara dan kesadaran bahwa Indonesia berdiri dalam Bhinneka Tunggal Ika.


oleh: Uung Sendana Linggaraja


GENTAROHANI.COM — Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian Negara atau pemberian golongan tertentu.

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E, Pasal 28i dan 29 ayat (1) dan (2) menjamin kebebasan setiap warganya untuk memeluk agama yang diyakini, tanpa paksaan dan intervensi Negara, atau kekuasaan apapun.

Kebebasan beragama kemudian diatur dalam Pasal 22 UU dan Pasal 55 UU No. 39 Tahun 1999, serta pasal 18 International Convenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005 Ayat (1) dan (2). Kendati kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi Negara, tetapi kebebasan mengekspresikan agama dibatasi oleh hak-hak orang lain. Kebebasan beragama harus dilaksanakan secara bertanggung jawab sehingga tidak mengancam atau melanggar kebebasan beragama orang lain. Hal ini dimaksudkan agar kebebasan beragama dapat mendukung terciptanya kerukunan umat beragama, bukan malah sebaliknya. Kebebasan beragama seperti pedang bermata dua.

Baru-baru ini terjadi dua peristiwa menggemparkan, yaitu peristiwa pembubaran Shalat Ied serta terbakarnya mushala di Tolikara Papua dan peristiwa dirobohkannya tempat ibadat Kristiani di Aceh Singkil. Kedua peristiwa ini merupakan rangkaian peristiwa sejenis, walau tidak sama yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia tercinta yang mencuatkan kembali issue kebebasan beragama dan kerukunan antara umat beragama.

Issue mengenai kebebasan beragama dan kerukunan antar umat beragama merupakan issue yang sangat sensitif, bila tidak ditangani dengan baik akan membawa dampak yang tak dapat diperkirakan bagi keutuhan bangsa dan negara kita. Apalagi Indonesia adalah negara yang majemuk dengan berbagai etnis, suku bangsa, budaya dan agama yang berbeda-beda. Di antara daerah yang satu dengan lainnya juga berbeda-beda. Di suatu daerah bisa saja agama A merupakan agama yang dominan, tetapi di daerah lain agama B dan daerah lainnya agama C yang dominan, atau di daerah lain lagi berbeda karakteristiknya.

Tulisan ini menyoroti beberapa persoalan mendasar dalam kehidupan beragama yang tentu saja berkaitan dengan masa depan kebebasan beragama (dan kerukunan) di Indonesia. Kasus yang terjadi terhadap penganut agama Khonghucu banyak digunakan sebagai contoh, karena kasus yang sama sangat mungkin terjadi terhadap agama-agama lain (dan agama ‘kecil’ lain).

Agama dalam Realitas Pergulatan Sosial

Kita patut ragu untuk menyatakan kerusuhan dan perusakan yang terjadi merupakan konflik agama semata. Walaupun faktor-faktor lain sebagai sumber penyebab kerusuhan dan perusakan sukar dibantah, kita tidak bisa menutup mata bahwa kerusuhan itu sama sekali tidak berkaitan dengan agama. Persoalan timbul karena kita seringkali ‘tidak memahami dengan benar’, ‘tidak mau memahami’, ‘pura-pura tidak memahami’, bahkan ‘memaksakan pemahaman’. Perlu tekad yang kuat dan upaya yang sungguh-sungguh untuk terus menerus dan berulang-ulang ‘mensosialisasikan’ agar bangsa dan umat benar-benar ‘memahami’.

Dengan pemahaman yang tepat dan ’sama’ kita akan lebih mudah untuk berdialog, bersilaturahmi, mengikat persaudaraan, walaupun itu bukan berarti dengan pemahaman yang berbeda dan ‘tidak’ tepat sama kita tidak dapat berdialog, bersilaturahmi, mengikat persaudaraan. Potret kenyataan yang ada perlu kita ungkap, lihat dan perbaiki walau mungkin terasa pahit dan tidak enak kita lihat dan dengar.

Perlu kita tegaskan bersama (sekali lagi dan lagi) bahwa sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, di negara kita tidak dikenal agama yang diakui dan tidak diakui serta agama resmi dan tidak resmi, sehingga di negara yang kita cintai bersama ini tidak layak ada suatu agama yang dimarginalisasi atau termaginalisasi dengan stigma-sitigma tertentu. Dalam konteks ini, saya ingin mengajak pada pembaca untuk sekali lagi (dan lagi) merenungkan dan memikirkan secara seksama, apakah pemahaman kita sama (atau berbeda?). Apakah pemahaman kita yang ‘sama’ (atau berbeda) itu dimaknai dengan kemauan moral dan tindakan nyata?

Dengan Konstitusi Negara yang tidak berbeda, dengan Falsafah Negara yang tetap sama, kenyataan yang ada memperlihatkan kepada kita, masih banyak persoalan dalam bangsa ini. Seperti kita ketahui bersama, hak-hak sipil umat Khonghucu (dan umat agama ‘kecil’ lainnya) selama puluhan tahun telah termaginalkan. Hanya saja setelah berjuang dengan keringat dan air mata, umat Khonghucu telah mulai merasakan kebebasan. Namun demikian, persoalan bangsa kita sesungguhnya belumlah terselesaikan. Ada persoalan dalam cara pandang dan pendekatan ‘pejabat negara’ dalam praktek perlindungan atas hak-hak sipil umat beragama. Ada juga persoalan dalam cara pandang dan pendekatan ‘tokoh dan umat beragama’ dalam praktek kehidupan beragama.

Persoalan yang Dihadapi

Kami tidak sependapat dengan pandangan yang menempatkan penganut agama tertentu (Islam?) seperti kita dengar dalam percakapan sehari-hari atau dalam pemberitaan sebagai tirani bagi agama lainnya, karena sesungguhnya mayoritarianisme tiranik yang ada di negara kita bukanlah praktek yang hanya dilakukan oleh salah satu penganut agama, tetapi cara pandang dan praktek yang dilakukan oleh hampir semua penganut agama yang merasa lebih banyak penganutnya (mayoritas?) terhadap agama yang lebih sedikit penganutnya (minoritas?). Kita tidak dapat menutup mata mengenai kenyataan ini.

Bagi agama ‘kecil’ yang relatif sedikit penganutnya, mayoritarianisme tiranik dirasakan bukan hanya dalam praktek pelaksanaan hak-hak sipil semata, tetapi dirasakan dalam aspek kehidupan lainnya seperti pendidikan dan kemasyarakatan. Dalam pendidikan bagi anak-anaknya, umat Khonghucu misalnya menghadapi pilihan yang berat dan dilematis, apakah harus bersekolah di sekolah berbasis agama tertentu, yang berarti harus mengikuti pelajaran agama yang bukan agama yang diimaninya (padahal jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional), dan dalam banyak kasus dipaksa untuk mengikuti ibadah agama yang bukan agama yang diyakini dengan berbagai alasan dan ‘ancaman’ baik halus mau pun ‘kasar’ ataukah harus bersekolah di sekolah negeri yang juga didominasi oleh agama tertentu pula dan tidak memberi banyak pilihan kepada anak didik yang beragama Khonghucu ataukah harus bersekolah di sekolah swasta yang lagi-lagi menempatkan pada realitas yang sama.

Dalam hidup kemasyarakatan, bukan hal yang aneh pula penganut agama ‘kecil’ ditempatkan pada posisi inferior, terhina dan dipaksa oleh saudara-saudaranya sendiri yang telah berpindah agama atau beragama yang berbeda. Bukan hal yang aneh, umat Khonghucu didatangi dari pintu ke pintu, baik secara fisik, mau pun dengan media-media ‘promosi’ seperti selebaran, SMS, email, telepon, dan sebagainya, kendati dengan nyata telah menyatakan dirinya sebagai umat Khonghucu.

Dalam beribadat, umat Khonghucu juga menghadapi kenyataan rumah ibadatnya telah banyak yang dialihkan menjadi rumah ibadat agama lain sebagai akibat kebijakan masa lalu yang memaksakan itu terjadi. Kasus seperti ini hampir merata diseluruh Indonesia. Kasus terbaru sekarang adalah kasus Samarinda yang menjadikan umat Khonghucu tidak dapat menjalankan ibadatnya, dan harus beribadat di jalanan, padahal rumah ibadat tersebut dulunya jelas-jelas rumah ibadat agama Khonghucu.

Di Pekalongan juga terjadi kasus yang hampir mirip, umat Khonghucu diusir dari rumah ibadatnya sendiri dan harus menjadi pihak tergugat di Pengadilan Negeri Pekalongan. Ini melengkapi kasus-kasus sejenis yang terjadi hampir di seluruh Indonesia selama puluhan tahun. Belum lagi issue-issue yang dengan sengaja disebarkan oleh pihak tertentu baik melalui selebaran, email, web dan sebagainya yang seolah-olah organisasi Khonghucu ingin mencaplok rumah ibadat tertentu.

Hal-hal di atas melengkapi banyaknya persoalan yang dihadapi oleh umat Khonghucu dalam memperjuangkan hak-hak sipilnya yang masih berlangsung hingga sekarang ini. Di beberapa daerah, kasus ‘larangan’ pendirian rumah ibadat terjadi pada umat Khonghucu, sebagian, misalnya di Depok dan Cimanggis akhirnya dapat diselesaikan dengan baik, sebagian seperti misalnya di Lombok belum dapat diselesaikan.

Dalam penegakan hak-hak sipil yang lain seperti pembuatan KTP, di beberapa daerah masih timbul persoalan karena perilaku oknum pejabat tertentu dengan berbagai alasan, seperti dalam formulir isian kependudukan belum mencantumkan agama Khonghucu, harus ada surat keterangan majelis sampai motif uang.

Persoalan yang hampir mirip tetapi tidak berkaitan dengan aparat pemerintah juga masih terjadi, misalnya dalam formulir isian untuk masuk Sekolah atau Perguruan Tinggi, murid dan mahasiswa penganut agama Khonghucu tidak dapat mencantumkan agama yang diyakini karena tidak ada kolom pilihan agama Khonghucu. Hal inipun terjadi di sekolah-sekolah negeri.

Untuk mendapat pendidikan agama Khonghucu di sekolah dan di kampus, siswa dan mahasiswa serta Makin/Matakin harus terus berjuang dengan berbagai cara dan tidak mendapatkannya dengan mudah.

Ini menunjukkan mayoritarianisme tiranik bukanlah milik salah satu (organisasi) agama, tetapi telah merasuki hampir semua (penganut/organisasi) agama.

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan pengalaman pribadi, setidaknya ada 12 persoalan yang mencederai kebebasan beragama dan dapat mengganggu kerukunan.

1. Ketidaktaatan pada hukum dan undang-undang

Ketidaktaatan pada hukum dan undang-undang terasa jamak di negeri kita. Hampir semua bidang kehidupan diwarnai dengan ketidak taatan pada hukum dan undang-undang dan ‘pembiaran’ oleh aparat penegak hukum. Kendati ada upaya-upaya untuk memperbaiki keadaan dalam beberapa sektor, perilaku manipulatif dan koruptif begitu menggurita dan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Dalam dunia pendidikan adalah hal yang lazim adanya kewajiban untuk mengikuti pendidikan agama tertentu walaupun jelas-jelas siswa tersebut beragama lain. ‘Pemaksaan’ ini dirasakan di sekolah yang tidak berbasis agama, terlebih yang bersekolah di sekolah berbasis agama tertentu. Apapun alasannya tindakan seperti ini melanggar undang-undang.

Hal yang sama terjadi pada formulir-formulir yang bersangkutan dengan identitas seseorang baik formulir resmi negara mau pun swasta.

2. Kepentingan Kekuasaan

Kekuasaan adalah daya tarik yang kuat bagi para pemuka agama. Walau berkuasa bukanlah hal yang dilarang bagi pemuka agama, namun cara-cara yang melanggar etika dan menghalalkan segala cara tentu tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Kekuasaan yang didapat juga perlu diterima sebagai amanah yang harus dihargai dan dimaknai dengan kepentingan nasional, bukan kepentingan golongannya sendiri apalagi kepentingan pribadi. Kekuasaan seorang pemimpin itu laksana angin bertiup yang akan mengarahkan kemana ‘rumput’ bergoyang. Tidak sedikit kepentingan kekuasaan mengorbankan kepentingan yang lebih besar dan berujung pada retaknya kerukunan.

3. Kebijakan yang memicu perlombaan menambah kuantitas

Disadari atau tidak, kebijakan pemerintah memicu adanya perlombaan antar agama untuk menambah umat. Dengan menambah umat artinya akan menambah fasilitas dan pelayanan negara terhadap penganut agama tertentu. Misalnya dalam hal pelayanan terhadap enam agama sesuai UU No 1 Pnps 1965, masih ada diskriminasi. Agama Khonghucu sampai hari ini tidak memperoleh pelayanan yang setara, tidak perlu sama tapi setara sesuai kebutuhan. Kenyataannya pembentukan Dirjen konon terkendala karena jumlah umat, padahal tidak ada satu undang-undang pun yang mengatur jumlah minimal umat untuk dibentuknya Dirjend suatu agama. Kalau ada jumlah minimal berapa? 30 juta? 10 juta? 7,5 juta?

4. Misi agama yang menodai kebebasan beragama dan mengancam kerukunan

Dalam beberapa kejadian, seorang penganut agama Khonghucu yang terbaring sakit di Rumah Sakit didatangi oleh missionaris agama tertentu untuk didoakan. Bahkan pada saat kritis dipaksakan untuk berpindah keyakinan. Kejadian yang lebih membuat miris adalah orang tua Khonghucu yang mempunyai anak-anak yang sebagian atau seluruhnya berpindah agama pada saat meninggal dunia diupacarakan agama yang berbeda dengan agamanya. Termasuk disini adalah pembujukan, penyebaran brosur-brosur, penjemputan, iming-iming hadiah, klaim kebenaran dan ‘intimidasi’.

5. Golongan Radikal/Transnasional

Klaim golongan radikal sebagai satu-satunya kebenaran yang berasal dari Tuhan dan merasa menjadi ‘pemilik’ surga, diikrarkan dan berupaya menarik penganut agama lain atau pun mengintimidasi dengan cara-cara yang radikal benar-benar mencederai kebebasan beragama dan sangat membahayakan kerukunan.

6. Klaim daerah agama tertentu

Klaim daerah (besar dan kecil) agama tertentu adalah klaim yang tidak dapat diterima dalam era keterbukaan sekarang ini. Mobilitas penduduk karena pekerjaan dan aktifitas sosial akan menyebabkan komposisi penduduk tidak lagi homogen. Klaim atau sebutan seperti ini akan menjadi penghambat kebebasan beragama. Faktanya, beberapa daerah di Indonesia masih ada yang seperti ini. Kendati demikian penghormatan dan penghargaan terhadap ‘komposisi penduduk’ disuatu daerah tertentu perlu dikedepankan agar tidak timbul konflik.

7. Pendirian rumah ibadat

Masalah rumah ibadat terjadi terhadap hampir semua agama. Yang menjadi korban biasanya adalah rumah ibadat bagi penganut agama yang lebih sedikit.

‘Persyaratan’ pendirian rumah ibadat 90-60 sesuai PBM 9 dan 8 dibeberapa daerah masih terkesan diterapkan secara kaku. Dalam beberapa kasus pendirian rumah ibadat menjadi bermasalah karena kurang harmonisnya hubungan antar pribadi pengurus dan tokoh masyarakat setempat.

8. Pendidikan agama disekolah

Muatan pendidikan agama yang kami amati selama ini berwujud pendidikan keagamaan, padahal pendidikan agama dimaksudkan untuk mendorong siswa bukan sebagai ahli agama tetapi menjadikan agama sebagai tuntunan hidup siswa sesuai Firman Tuhan. Pendidikan agama mendidik siswa menjadi fanatis dan eksklusif. Pendidikan budi pekerti/etika moral hanya menjadi bagian kecil dari pendidikan.

Dalam pendidikan agama di sekolah seringkali murid Khonghucu (dan agama ‘kecil; lain) tidak dapat memperoleh pendidikan agama Khonghucu (dan agama ‘kecil’ lain) dengan berbagai alasan, terutama masalah murid yang sedikit dan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Tercakup dalam hal ini tidak tercantumnya agama Khonghucu dalam formulir pendaftaran. Bimas Khonghucu belum berjalan optimal

9. Rumah ibadat akibat kebijakan masa lalu

Masalah rumah ibadat Khonghucu sampai hari ini belum terselesaikan dengan baik. Tidak bisa terhadap agama dan umat yang dimarginalkan sekian lama tidak dilakukan affirmative action. Dalam hal rumah ibadat, yang perlu menjadi acuan utama seharusnya kitab suci disamping sejarah rumah ibadat itu didirikan, bukan selembar sertifikat keabsahan negara.

10. Pembodohan dan Pencampuradukan

Mencampur adukan ajaran, akidah dan ritual keagamaan merupakan dampak negatif kebebasan beragama dan akan menjadi bom waktu yang merusak kerukunan. Ini dilegitimasi bahkan dijadikan alat politik di negeri Indonesia tercinta ini.

Dalam hal ini termasuk klaim bahwa hari besar keagamaan Khonghucu sebagai budaya dan bukan hari besar keagamaan. Bahkan banyak kejadian aneh karena perayaan agama Khonghucu diklaim sebagai ‘budaya’ diselipi dengan upacara keagamaan tertentu didaerah tertentu yang banyak dihuni komunitas Tionghoa.

11. Bukan agama

Ada pejabat serta pemuka masyarakat dan agama tertentu dengan sengaja mengatakan Khonghucu bukan agama. Kalau kita tanyakan kepada yang bersangkutan, pejabat atau tokoh agama tersebut belum tentu tahu apa pengertian agama atau tahu tapi buta karena sarat akan kepentingan dibalik itu. Hal-hal seperti ini jelas melanggar konstitusi negara dan perbuatan pidana, menodai agama dan mencederai semangat kerukunan. Masalah definisi agama bukanlah hal yang mudah.

12. Antara budaya dan agama

Ikut merayakan perayaan keagamaan silahkan saja, tetapi tidak pada tempatnya bila mendiskreditkan agama dan tidak pada tempatnya pula bila mulai merubah ritual keagamaan. Merayakan dan melaksanakan ibadah itu berbeda. Dalam melaksanakan ibadah terkandung nilai-nilai religius-filosofis dan keimanan penganut agama. Perlu diberi catatan, hingga hari ini para ahli tidak berhasil merumuskan satu definisi agama yang baku karena tidak mudah membuat suatu definisi terhadap sesuatu yang kompleks.

Kesimpulan dan Saran

Ada persoalan besar pada bangsa kita, bukan semata-mata persoalan yang ditimbulkan oleh salah satu kelompok agama, tetapi merata hampir pada seluruh kelompok agama. Kasus perusakan, pembakaran, penyegelan, pembatalan IMB, pelarangan pendirian rumah ibadat hanyalah suatu gejala yang timbul dari persoalan besar bangsa kita, hanya sebagai ’the tip of the iceberg’ (puncak dari gunung es).

Pancasila sebagai falsafah negara, nafas kehidupan bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan yang sangat serius dan mendesak. Tanpa kemauan yang kuat dari bangsa ini untuk melakukan revolusi pembenahan, revolusi pendekatan, revolusi cara pandang, revolusi tindakan, Pancasila hanya akan menjadi nama tanpa makna dan negara Indonesia hanya akan menunggu waktu untuk menjadi tinggal nama, tercerai berai.

Melihat persoalan yang ada, tanpa adanya pembenahan - bukan hanya meliputi aspek hukum dan penegakkan hukum semata, namun juga aspek, politik, sosial, ekonomi dan budaya - masa depan kebebasan beragama dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia akan sangat terancam, dampaknya adalah negara Indonesia terpecah belah.

Persoalan ini perlu diselesaikan bersama, tidak bisa hanya menimpakan kesalahan kepada lembaga eksekutif semata. Lembaga ekseskutif, legislatif, yudikatif, media, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat dan seluruh komponen bangsa perlu dilakukan revolusi pembenahan, revolusi pendekatan, revolusi cara pandang, revolusi tindakan sehingga dapat menyentuh akar permasalahan bangsa kita.

Masa depan kebebasan beragama tidak dapat dilepaskan dengan kerukunan, keduanya seperti keping mata uang, kebebasan beragama adalah tidak tak terbatas. Maka batas-batas itu yang perlu disepakati bersama, bukan sekedar dengan undang-undang tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai falsafah negara dan kesadaran bahwa Indonesia berdiri dalam Bhinneka Tunggal Ika. Artinya bagaimana masa depan kebebasan beragama tergantung kita sendiri sebagai bangsa Indonesia yang mempunyai budaya gotong royong, saling menghormati, mengasihi dan tepasalira. Tidak mudah memang tapi bukan tidak mungkin. (bwt)


Renungan Ayat

“Ada pendidikan tiada perbedaan.” (Lunyu XV: 39)

“Kalau berlainan jalan suci, tidak usah saling berdebat.” (Lunyu XV: 40)

“Seorang Junzi dapat rukun meski tidak dapat sama, seorang xiaoren dapat sama meski tidak dapat rukun.” (Lunyu XIII: 23)

“Bahaya yang datang oleh ujian Tian YME dapat dihindari, tetapi bahaya yang dibuat sendiri tak dapat dihindari.” (Mengzi IVA: 8.5)

“Kalau orang bangga dapat berbuat muslihat dan licin, itulah karena tidak menggunakan rasa malunya. Yang tidak mempunyai rasa malu, tidak layak sebagai manusia, dalam hal apa ia layak sebagai manusia?” (Mengzi: VIIA: 7.2-7.3)

“Oranglah yang harus mengembangkan Jalan Suci, bukan Jalan Suci yang mengembangkan orang.” (Lunyu XV: 29)

“Tanah air harus dijaga dari generasi ke generasi, tidak boleh ditinggalkan sekedar pertimbangan pribadi. Bersiaplah untuk mati, jangan pergi” (Mengzi IB: 16.3)

KOMENTAR

BLOGGER
Nama

GERBANG,81,KIBAR KABAR,15,LAYAK NGERTI,50,LORONG,58,NOT,1,PILIHAN,117,SANGGURDI,7,SEPATU,8,TOPI,23,TSN,78,TSUN,4,USL,73,VIDEO,32,YUHO,1,ZATH,1,ZBWT,13,ZEF,23,ZEVA,1,ZKG,28,
ltr
item
Genta Rohani: Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia
Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia
Masa depan kebebasan beragama tidak dapat dilepaskan dengan kerukunan, keduanya seperti keping mata uang, kebebasan beragama adalah tidak tak terbatas. Maka batas-batas itu yang perlu disepakati bersama, bukan sekedar dengan undang-undang tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai falsafah negara dan kesadaran bahwa Indonesia berdiri dalam Bhinneka Tunggal Ika.
https://timhillpsychotherapy.com/wp-content/uploads/2016/09/What-Would-You-Do-With-Your-Freedom.jpg
Genta Rohani
https://www.gentarohani.com/2019/03/masa-depan-kebebasan-beragama.html
https://www.gentarohani.com/
https://www.gentarohani.com/
https://www.gentarohani.com/2019/03/masa-depan-kebebasan-beragama.html
true
9139491462367974246
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts LIHAT SEMUA Baca lebih Balas Batal Hapus Oleh Beranda PAGES POSTS View All Rekomendasi untuk Anda LABEL ARSIP CARI ALL POSTS Not found any post match with your request Kembali ke Beranda Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Min Sen Sel Rab Kam Jum Sab Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des baru saja 1 menit lalu $$1$$ menit lalu 1 jam lalu $$1$$ jam lalu Kemarin $$1$$ hari lalu $$1$$ minggu lalu lebih dari 5 minggu lalu Followers Follow KONTEN PREMIUM Harap SHARE untuk membuka kunci Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy