Jika tidak memiliki keinginan, bagaimana mungkin kita bisa memiliki ambisi untuk maju (berkemauan keras)?
oleh: Budi Wangsa Tedy
GENTAROHANI.COM — Beberapa hari yang lalu, istri saya yang cantik pernah berkata, "Umat Khonghucu selalu diajarkan untuk membatasi keinginan, dan bersyukur atas apa yang dimiliki. Otomatis efeknya sekarang, mayoritas umat Khonghucu tidak memiliki ambisi besar untuk terus maju dalam dunia bisnis."
Saya sempat termenung. Sambil memikirkan jawaban yang tepat, tentunya.
Akhirnya saya hanya bisa menjawab, "Ah, belum tentu juga."
Hal ini menyangkut di kepala saya untuk beberapa hari.
Istri saya tidak keliru, argumennya berdasar.
Sifat menerima dan berpuas hati ini apakah akibat ajaran agama Khonghucu yang selama ini saya pelajari? Ataukah ini hanya watak dan kepribadian yang spesifik milik saya?
Dalam Kitab Sabda Suci V : 11, Nabi Kongzi bersabda: “Terlalu banyak keinginan, bagaimana dapat berkemauan keras?”
Ayat ini cukup membingungkan jika ditelan mentah-mentah. Jika tidak memiliki keinginan, bagaimana mungkin kita bisa memiliki ambisi untuk maju (berkemauan keras)? Untuk bisa memiliki kemauan keras dan berambisi menjadi besar dalam bidang usaha, tentunya harus berdasar kepada keinginan-keinginan—bahkan keinginan duniawi. Tanpa drive keinginan tertentu, apakah kita bisa tetap memiliki kemauan keras?
BACA JUGA: Ketentraman atau Keinginan
Apakah memang Khonghucu mengajarkan minimalisme? Di mana ketiadaan adalah sebuah kelebihan? Bahwa harta yang berlebih adalah merupakan suatu noda?
Ah, masa iya? Batin saya ingin menolak anggapan tersebut.
Guru bersabda: “Seseorang yang dapat membatasi diri, sekalipun mungkin berbuat salah, namun pasti jarang terjadi.” (Sabda Suci IV : 23)
Lagi-lagi ayat yang memang menganjurkan kita untuk membatasi diri (terhadap keinginan).
Waduh...
Dengan segala kepanikan, Kitab Sishu—yang masih kinclong karena jarang disentuh—saya buka bolak balik untuk mencari jawaban. Untungnya pencarian jawaban mulai menemukan titik terang ketika tanpa sengaja sampai pada Kitab Mengzi.
Mengzi berkata : “Sesuatu yang mula-mula nampak baik dan pantas di ambil, ternyata kemudian tidak layak diambil; kalau tetap diambil juga, itulah menodai kesucian. Sesuatu yang mula-mula nampak baik dan pantas diberikan, ternyata kemudian tidak layak diberikan; kalau tetap diberikan juga, itulah menodai kemurahan hati. Sesuatu yang mula-mula nampak baik dan pantas dibela mati-matian, ternyata kemudian tidak layak dibela mati-matian, kalau tetap dibela mati-matian juga, itulah menodai keberanian.” (Mengzi IV B : 23)
Ah, di sini tertulis bahwa kita bisa mengambil apa yang pantas kita ambil.
Ayat ini membuat saya teringat ayat legendaris yang sering dijadikan kojo (andalan) para rohaniwan dalam berkotbah.
Bila suatu hari dapat memperbaharui diri, perbaharuilah terus tiap hari dan jagalah agar baharu selama-lamanya.’ (Ajaran Besar II : 1)
Mungkinkah ayat ini tidak hanya mengupas tentang pembaruan rohani? Bisakah bahwa yang kita perbaharui setiap hari, selain kebangkitan rohani tentunya, juga adalah pembaruan ambisi kita dalam bidang usaha? Entahlah.
Satu hal yang pasti—seperti yang sering diajarkan ayah saya—bahwa mempelajari agama tidak boleh sepotong-sepotong. Kitab-kitab harus sering dibaca. Sleb!
Kitab Suci sekalipun adalah hasil karya para Nabi, manusia tetap berkewajiban untuk menguji kebenarannya. Bukan karena tidak percaya, tetapi untuk memberi keyakinan dan kepercayaan yang lebih mendalam.
BACA JUGA: Belajar dan Berpikir
Malam ini saya mungkin bisa tidur nyenyak, siap memberi jawaban yang pas kepada istri tercinta mengenai uneg-uneg yang beberapa hari ini menghantui pikiran, bahwa tidak mungkin saya tidak memiliki ambisi, sedangkan setiap main trup saya selalu ingin book? (bwt)
KOMENTAR