Sepenggal kisah dari sebuah legenda, sebuah bingkai kehidupan, yang bernama Mocha.
oleh: Ws. Budi Suniarto
"Emangnya harus dibius ya?" tanyanya sambil menatapku dengan pandangan mata nanar.
"Iya, soalnya semalam kamu berontak menggigit dan mencakar dokter yang akan menolongmu. Nafsu binatang mendorongmu brutal, tidak tahu kalau sebenarnya dokter mau menolongmu," jawabku menjelaskan. Ada perasaaan tidak tega melihatnya, tapi aku harus memaksanya. Kaki kanan depannya bengkak karena kuku jalunya tumbuh menusuk daging. Kukunya harus dipotong.
"Ya sudahlah..." jawab dia sambil gemetar, sepanjang jalan menuju dokter, kulihat dia menarik nafas panjang berkali-kali, mungkin agar tenang hatinya. Dia memang sudah menjadi bagian dari keluargaku, sayangnya petugas kecamatan menolak ketika namanya akan kumasukkan dalam daftar Kartu Keluarga.
Dia kuhadiahkan pada anak laki-lakiku sebagai kado ulang tahunnya ketika masih kecil. Usianya dulu masih 3 bulan ketika kubawa dari Tasikmalaya—tempat kelahirannya—ke Purwokerto sebagai tempat tinggalnya yang baru. Mereka tumbuh besar bersama. Masa kecilnya sebahagia masa kecil anakku, karena dulu ke mana pun anakku pergi, main ke sawah, ke sungai, atau hanya sekedar jalan jalan di komplek perumahan, dia pasti tidak tertinggal, selalu diajak.
Seiring bertambahnya umur. Mereka menempuh jalannya masing masing. Kini kedua anakku sibuk urusan sekolahnya. Tidak ada lagi masa-masa bermain bersama, dia hanya mengharap remah-remah perhatian di sela-sela kegiatan anakku yang padat. Aku yang paling sering mengajaknya ngobrol, itu pun kalo aku tidak banyak acara.
Sepanjang hidupnya, dia mengenal 3 betina. Yang pertama lari dari rumah, menghilang pada suatu malam, baru akhirnya aku tahu dia lari dari rumah waktu hujan lebat dan petir menggelegar, takut rupanya.
Kucarikan lagi betina yang kuharap setia menemaninya walau petir menggelegar, belum saja punya anak, suatu pagi betinanya kutemukan mati, tidak ada tanda-tanda KDRT. Dia kelihatan bersedih.
Yang ketiga, mungkin ini yang paling bahagia baginya. Kucarikan betina dari Jakarta. Kelahiran pertamanya gagal, 4 anaknya mati satu persatu hanya selang beberapa hari setelah melahirkan. Akhirnya kelahiran keduanya menghasilkan dua anak betina yang sehat dan lucu. Sayang, tidak lama setelah itu, maut memisahkan mereka, betinanya mati tertabrak mobil ketika malam hari di komplek perumahan. Dia sangat sedih, tidak makan dan minum berhari-hari sampai akhirnya diopname, diinfus di rumah sakit beberapa hari. Anakku menyempatkan menengoknya setiap pulang sekolah, kasihan katanya.
Kini dia menikmati kesendiriannya. Kedua anaknya terpencar, satu di Purwokerto ikut orang lain, satunya di Bandung. Pernah suatu saat cucunya dari anak yang di bandung datang menemani, hanya beberapa bulan, setelahnya minggat entah kemana.
Yang sehat ya Mocha.
"Ya sudahlah..." jawab dia sambil gemetar, sepanjang jalan menuju dokter, kulihat dia menarik nafas panjang berkali-kali, mungkin agar tenang hatinya. Dia memang sudah menjadi bagian dari keluargaku, sayangnya petugas kecamatan menolak ketika namanya akan kumasukkan dalam daftar Kartu Keluarga.
Dia kuhadiahkan pada anak laki-lakiku sebagai kado ulang tahunnya ketika masih kecil. Usianya dulu masih 3 bulan ketika kubawa dari Tasikmalaya—tempat kelahirannya—ke Purwokerto sebagai tempat tinggalnya yang baru. Mereka tumbuh besar bersama. Masa kecilnya sebahagia masa kecil anakku, karena dulu ke mana pun anakku pergi, main ke sawah, ke sungai, atau hanya sekedar jalan jalan di komplek perumahan, dia pasti tidak tertinggal, selalu diajak.
Seiring bertambahnya umur. Mereka menempuh jalannya masing masing. Kini kedua anakku sibuk urusan sekolahnya. Tidak ada lagi masa-masa bermain bersama, dia hanya mengharap remah-remah perhatian di sela-sela kegiatan anakku yang padat. Aku yang paling sering mengajaknya ngobrol, itu pun kalo aku tidak banyak acara.
Sepanjang hidupnya, dia mengenal 3 betina. Yang pertama lari dari rumah, menghilang pada suatu malam, baru akhirnya aku tahu dia lari dari rumah waktu hujan lebat dan petir menggelegar, takut rupanya.
Kucarikan lagi betina yang kuharap setia menemaninya walau petir menggelegar, belum saja punya anak, suatu pagi betinanya kutemukan mati, tidak ada tanda-tanda KDRT. Dia kelihatan bersedih.
Yang ketiga, mungkin ini yang paling bahagia baginya. Kucarikan betina dari Jakarta. Kelahiran pertamanya gagal, 4 anaknya mati satu persatu hanya selang beberapa hari setelah melahirkan. Akhirnya kelahiran keduanya menghasilkan dua anak betina yang sehat dan lucu. Sayang, tidak lama setelah itu, maut memisahkan mereka, betinanya mati tertabrak mobil ketika malam hari di komplek perumahan. Dia sangat sedih, tidak makan dan minum berhari-hari sampai akhirnya diopname, diinfus di rumah sakit beberapa hari. Anakku menyempatkan menengoknya setiap pulang sekolah, kasihan katanya.
Kini dia menikmati kesendiriannya. Kedua anaknya terpencar, satu di Purwokerto ikut orang lain, satunya di Bandung. Pernah suatu saat cucunya dari anak yang di bandung datang menemani, hanya beberapa bulan, setelahnya minggat entah kemana.
Yang sehat ya Mocha.
Jangan sakit-sakitan terus, BPJS kesehatan tidak mau menanggungmu, loh.
KOMENTAR