Kendati Indonesia adalah negara hukum, bangsa Indonesia tidak semata-mata mendasarkan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan hukum semata, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai moral, kebajikan, dan spiritual.
oleh: Uung Sendana Linggaraja
GENTAROHANI.COM—Ada satu cerita menarik yang hingga saat ini masih saya ingat kendati telah saya dengar beberapa dekade yang lalu, yaitu cerita mengenai Shang Yang, seorang penganut Fa Jia (kaum legalis) di Tiongkok. Shang Yang (390–338 SM) lahir di Wey dalam wilayah Kekaisaran Zhou pada masa peperangan antar negara. Dia adalah seorang negawaran dan pembaharu negeri Qin.
Shang Yang menancapkan sebuah tongkat di tengah alun-alun kerajaan, lalu dibacakan perintah raja yang berbunyi, "Barang siapa dapat mencabut tongkat ini akan diberi hadiah emas."
Selama beberapa hari bahkan minggu tak ada seorang pun yang mencabut tongkat tersebut karena takut bila mencabut tongkat kerajaan tersebut akan mendapat masalah. Sampai akhirnya ada satu orang yang mempunyai keberanian untuk melakukannya.
Di luar dugaan banyak orang, sesuai janji dalam sayembara, kepada orang tersebut diberikan hadiah emas berlimpah oleh raja. Dampak sayembara ini sangat luar biasa dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat di seluruh negeri. Rakyat menjadi percaya bahwa raja menepati janji.
Setelah itu raja, atas saran Shang Yang membuat dan mengumumkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di seluruh negeri. Karena contoh sayembara di atas, tak ada seorang pun yang berani melanggar. Hukum diterapkan tanpa pandang bulu. Maka negara menjadi kuat, tertib dan teratur karena diatur dengan hukum dan perundang-undangan. Selebihnya sejarah mencatat, pada akhirnya Qin dapat mempersatukan Tiongkok.
Ironisnya, Shang Yang mati karena hukum yang dibuatnya sendiri, saat dia difitnah dan menjadi buronan, tak ada seorang pun yang berani menolongnya hingga dia mati kelaparan.
Aliran Fa Jia mengalami masa keemasan saat kekaisaran Qin berkuasa dengan berbagai kelebihan dan banyak kekurangannya. Kebenaran hakiki 'sesuatu yang berlebihan sama buruknya dengan sesuatu yang kurang' acap berlaku, dinasti Qin berlangsung tidak lama hanya 15 tahun, yaitu tahun 221–206 SM untuk kemudian digantikan dinasti Han selama 4 abad (206 SM–220 M).
Bagi penganut Ru Jia (kaum Ru) yang bersumber pada Ru Jiao (Agama Ru)—di Indonesia lebih dikenal sebagai agama Khonghucu—penerapan hukum tetaplah harus berlandaskan kebajikan dan li (kesusilaan, standar dan nilai-nilai moral, tercakup di dalamnya peribadahan, upacara), Han menerapkan itu dengan menjadikan agama Khonghucu sebagai agama negara.
Kita sebagai bangsa Indonesia sudah semestinya bersyukur mempunyai Pancasila sebagai falsafah dasar dan ideologi negara. Pancasila yang digali dari bumi Indonesia adalah jalan tengah dari ideologi liberal dan ideologi berdasarkan agama tertentu menjadikan Indonesia sebagai negara berkeTuhanan atau negara beragama, artinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terlepas dari nilai-nilai moral, kebajikan, dan spiritual.
Artinya kendati Indonesia adalah negara hukum, bangsa Indonesia tidak semata-mata mendasarkan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan hukum semata, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai moral, kebajikan dan spiritual.
PR terbesar Indonesia sekarang ini—termasuk PR Anda dan saya—adalah bagaimana nilai-nilai moral, kebajikan dan spiritual kembali mengemuka dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hukum dapat ditegakkan dengan tanpa pandang bulu.
Pemerintah dan penegak hukum tak perlu ragu menegakkan hukum dan masyarakat pun dengan penuh kesadaran akan taat hukum bila pemerintah dan penegak hukum berbuat lurus berdasar hukum, nilai-nilai moral, kebajikan dan spiritual. Hanya dengan demikian, Indonesia akan mampu menjadi negara yang kuat, makmur, berkeadilan sosial sesuai cita-cita dalam pembukaan UUD NKRI 1945. Sikap Tengah yang mengemuka dalam Jalan Tengah yang dipilih oleh para founding parents kita adalah jalan yang terbaik, tinggal kita bersama terus dengan sungguh hati berupaya untuk mewujudkannya.
Nabi bersabda, "Dibimbing dengan undang-undang, dilengkapi dengan hukuman, menjadikan rakyat hanya berusaha menghindari itu dan kehilangan perasaan harga diri. Dibimbing dengan kebajikan dan dilengkapi dengan kesusilaan, menjadikan rakyat tumbuh perasaan harga diri dan berusaha hidup benar."—Lunyu II: 3
Lupakan wacana menjadikan Indonesia negara sekuler atau negara agama, negara Pancasila adalah kesepakatan final yang terbaik bagi bangsa kita yang majemuk.
Rumput tetangga kelihatannya saja lebih hijau. (bwt)
Rumput tetangga kelihatannya saja lebih hijau. (bwt)
Artikel ini terbit pertama kali di www.uungsendana.com
KOMENTAR