Bagaimana kita memandang Tian dalam kehidupan kita? Bagaimanakah kita memposisikan keberadaan Tian? Mari kita selidiki bareng-bareng.
oleh: Budi Wangsa Tedy
Tian kerap disifatkan sebagai Yang Maha Kuasa, Yang Maha Adil, Yang Maha Esa, dan segala maha-maha yang lain. Saya berpikir, konsep tersebut membuat kita menjadi sangat jauh dengan Tian sendiri. Jika kita terlalu mengkotakkan Tian itu sebagai sosok Yang Maha, kita seakan memisahkan diri dariNya. Kita terlalu takut untuk bergaul denganNya. Boro-boro mau Pei Tian (manunggal dengan Tian), nyenggol aja ngeri.
Kadang bisa juga dianggap sebagai kondisi serba salah. Jika terlalu takut terhadap Tuhan jadinya jauh, kalau tidak takut jadinya kurang ajar.
Mungkin lebih mudah jika kita bisa memposisikan Tian sebagai teman yang paling setia. Yang selalu ada di setiap saat kita membutuhkan. Dengan demikian akan hilanglah dinding tinggi yang membatasi hubungan kita denganNya.
Sebagai teman baik, tentunya dibutuhkan komunikasi. Komunikasi kita dengan Tian tentunya dengan berdoa—walaupun bisa dibilang hanya komunikasi satu arah semacam pager—anak 90-an ngacung!
Dalam berdoa mestinya pula tidak ada batasan dalam pemilihan kata-kata. Kita bisa ngobrol selayaknya dengan sobat terbaik dengan Tian. Tidak perlu terlalu kaku dengan segala macam urutan doa yang sudah terstruktur (terus maju menuju tinggi dan kawan-kawannya itu). Yang penting apa yang mau kita bicarakan sudah tersampaikan.
Terkadang dalam berdoa ada hal yang sulit dikatakan, sehingga kita menganggap ah biarkan saja lah, toh Tian sudah mengerti apa yang ingin saya sampaikan. Bukan itu konsep dari doa, Juragan! Kalau kita berpikiran seperti itu, ya untuk apa lagi kita berdoa? Dengan berdoa, kita belajar mengutarakan isi hati kita. Walau memang Tian sudah paham apa yang akan kita utarakan itu, kita tetap harus menyampaikannya. Dan jangan khawatir Tian bakalan menganggap kita cerewet, karena memang sudah kodratnya manusia itu cerewet. Tian sudah maklum.
Sering saya ingin tertawa melihat orang yang begitu menganggap Tian sebagai sesuatu yang tidak boleh diutak-atik. Mereka bilang Tian itu sangat mulia! Tidak boleh dibuat gurauan! Tidak boleh diganggu gugat!
Lucu! Tian tidak sepicik itu. Tian juga suka bergurau, suka bercanda. Tian bukan seorang raja bengis dengan kumis tebal, yang salah bicara sedikit hukumannya mati. Tuhan tidak sekaku itu.
Jangan menganggap Tian terlalu jauh untuk direngkuh. Dia ada di dekat kita, di dalam hati kita. Bisa bercanda, bahkan sekali-sekali bisa dijadikan bahan gurauan, asal jangan kurang ajar dan menghujat.
Mungkin setelah tulisan ini dimuat dan dibaca, saya bakalan dianggap sebagai orang tolol yang enggak tau apa-apa. Dianggap sebagai biang kerok, kaum ekstrimis, dan digolongkan sebagai partai oposisi kekuasaan. Yang sudah ngomong sembarangan dan merendahkan martabat Tian. Siapa tahu bahkan nantinya Genta Rohani akan dibredel penerbitannya dan saya masuk penjara.
Bisa jadi. Tapi yang jelas, bagi saya pribadi, konsep memandang Tian seperti ini membuat kebahagiaan dalam hidup saya. Karena saya tahu Tian selalu mendampingi.
Mungkin kalau Tian dapat mewujud dan menampakkan diri, Beliau bakalan main pingpong atau pun main trup bareng saya, sebagai Mitra Sejati. (bwt)
Tulisan kontroversial ini terbit pertama kali di Buletin Genta Rohani di bulan Agustus 1998.
Yang tidak setuju silakan buat tulisan tandingan!
Tulisan kontroversial ini terbit pertama kali di Buletin Genta Rohani di bulan Agustus 1998.
Yang tidak setuju silakan buat tulisan tandingan!
KOMENTAR