Pengorbanan pada Tuhan dan shen, terutama pada shen nenek moyang, sangat umum dilaksanakan dan merupakan kewajiban yang sangat penting yang harus dilaksanakan oleh raja, menteri, pembesar serta masyarakat umum.
oleh: Uung Sendana Linggaraja
GENTAROHANI.COM—Mengapa Zhisheng Kongzi lebih memilih penyebutan Tian sebagai Yang Maha Kuasa, bukan shangdi atau sebutan-sebutan lain? Pada masa-masa awal dinasti Zhou memperoleh tianming dan pemerintahan masih berlangsung dengan baik dan dipenuhi kebajikan, masyarakat saat itu yang sangat religius, begitu berhati-hati dan penuh rasa hormat dalam melaksanakan berbagai upacara dalam menyambut beberapa hal penting dalam kehidupan, seperti pernikahan, kelahiran, kematian, pemakaman, tata cara kunjungan dan pesta makan, dan juga dalam kegiatan sehari-hari seperti makan, berjalan, berbicara, tidur dan sebagainya.
Masyarakat pada waktu itu di samping percaya pada adanya Yang Maha Kuasa yang disebut shangdi atau Tian atau Huangtian Shangdi, percaya pada adanya shen (roh), ‘tuhan’ yang lebih rendah. Mereka percaya pada shen yang berada di gunung, sungai, gandum, sudut barat daya rumah dan sebagainya. Namun oleh aturan raja, masyarakat hanya diperbolehkan melaksanakan persembahyangan kepada nenek moyangnya. Persembahyangan pada Tuhan dan shen, terutama pada shen nenek moyang, sangat umum dilaksanakan dan merupakan kewajiban yang sangat penting yang harus dilaksanakan oleh raja, menteri, pembesar serta masyarakat umum.
Motif dari persembahyangan ini sangat bervariasi, namun pada umumnya dapat dibagi menjadi empat motif utama, yaitu untuk:
- melayani Tuhan dan shen agar mendapatkan berkah,
- mengucapkan terima kasih dan syukur,
- kepentingan sosial dan politik, dan
- untuk ramalan dan sihir.
Maka seperti yang dilakukan oleh pendiri dinasti Zhou yang menggunakan Tian untuk menyebut Yang Maha Esa, Zhisheng Kongzi menggunakan sebutan yang sama. Namun demikian, sebagai penerus yang pembaharu, Zhisheng Kongzi menggunakan kata Tian dengan pengertian sesuai kitab Yijing. Tian dalam spiritualitas Zhisheng Kongzi adalah Qian dan Kun, diwujudkan dalam keyakinan akan adanya Huangtian Shangdi, Huangtian (Yang Maha Agung/ Transenden) dan Shangdi (Yang Maha Besar/Imanen) berdasarkan cara pandang dan spiritualitas yin yang.
Keinginan terhadap sesuatu yang berada di luar dunia nyata saat ini merupakan salah satu hasrat bawaan manusia, penulis kurang sependapat bila dikatakan bangsa huaxia bukan merupakan orang-orang yang memandang gagasan-gagasan dan aktivitas-aktivitas keagamaan sebagai hal-hal yang sangat penting dan perlu mendapat perhatian dalam kehidupan yang menjadi dasar spiritual dalam peradaban huaxia.
Demikian pula, penulis kurang sependapat bila dikatakan mereka bukan bangsa yang religius tetapi bangsa yang filosofis, karena bila kita membaca sejarah, para kaisar atau raja dari dinasti ke dinasti senantiasa melaksanakan upacara-upacara persembahan/pengorbanan pada Shangdi, dan setiap memulai suatu kegiatan, seperti misalnya di awal musim tanam, senantiasa dimulai dengan melaksanakan persembahyangan, bahkan melakukan peramalan-peramalan menggunakan batok kura-kura atau rumput shi dan didampingi oleh para pemimpin agama dan penasihat spiritual di dalam melaksanakan upacara keagamaan dan mengambil keputusan. Di lain pihak kalangan rakyat jelata sangat percaya pada kekuatan yang lebih tinggi penguasa alam semesta dan shen.
Kegiatan keagamaan terutama persembahyangan pada leluhur dan shen menjadi aktivitas rakyat jelata dari dinasti ke dinasti, sedangkan filsafat lebih banyak menjadi perhatian para kaum cendekiawan, pejabat atau calon pejabat.
Zhisheng Kongzi tidak hanya mengajarkan etika atau filsafat, tetapi mengajarkan, bahkan sangat menaruh perhatian pada kesusilaan (li), termaktub di dalamnya adalah upacara peribadatan (ji). Bila kita membaca kitab Sishu Wujing, maka akan didapati banyaknya persembahyangan yang dilakukan baik kepada Shangdi/Tian, shen, maupun leluhur.
Bahkan Zhisheng Kongzi mengundurkan diri dari jabatannya lalu hidup mengembara selama 13 tahun untuk mengembalikan dunia kembali ke dalam dao sebagai tianzhi muduo, karena alasan raja tidak lagi melaksanakan upacara dengan baik dan sungguh-sungguh serta memberi hantaran daging bekas upacara kepada beliau yang merupakan li yang sangat dijunjung tinggi. Zhisheng Kongzi sangat percaya pada kekuasaan Tian, Zhisheng Kongzi berkali-kali mengatakan bahwa dia menerima Tianming dan menjadi penerus jalan suci (dao) raja Yao, Shun, Wen, dan Wu.
Dalam upaya mengembalikan dunia ke dalam dao, Zhisheng Kongzi mempunyai misi memanusiakan manusia, yaitu membimbing manusia agar hidup selaras dengan firman Tian (Tianming) yang ada dalam dirinya, berupa benih-benih kebajikan cinta kasih, kebenaran, kesusilaan dan kebijaksanaan yang merupakan pancaran empat sifat kebajikan Tian, yakni yuan heng li zhen.
Agar menjadi manusia yang manusiawi, seorang manusia harus hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam lima hubungan kemasyarakatan, yakni hubungan antara suami dengan isteri, orang tua dengan anak, adik dengan kakak, atasan dengan bawahan dan kawan dengan sahabat dalam puncak kebaikan, tempat hentian manusia, bukan dengan jalan mengasingkan diri, bertapa, atau meninggalkan kehidupan dunia. Dalam menjalankan kepercayaannya kepada Tian dan shen, seorang manusia menyembah roh yang seharusnya disembah serta dihormati, bukan menyembah roh-roh yang tidak karuan.
Manusia wajib mengutamakan kebajikan dalam kehidupannya, di atas hal-hal lainnya karena hanya kebajikan yang berkenan di hadapan Tian. Manusia perlu mengerti hidup terlebih dahulu sebelum akhirnya mengerti hal setelah mati. Itu bukan berarti Zhisheng Kongzi tidak mengajarkan mengenai afterlife, tetapi mengajarkan mana yang pokok dan mana yang ujung. Seorang manusia yang sepanjang hidupnya dapat mengembangkan benih-benih kebajikan dan mengendalikan nafsu, lalu dengan sepenuh iman dan ketulusan (cheng) berbuat mengikuti firman Tian (Tianming), maka saat berpulang akan bersatu kembali dengan Tian (Pei Tian), dalam kemuliaan kebajikan Tian.
Hidup dalam dao, mengembangkan benih-benih kebajikan dan mengendalikan nafsu agar dalam batas Tengah merupakan spiritualitas yang dibimbingkan dalam Rujiao/Kongjiao atau agama Khonghucu. Dalam proses itu, peranan peribadatan dan musik (li dan yue) sangat penting. Seorang junzi selalu dipenuhi iman (cheng), percaya (xin), satya (zhong), dan hormat-sujud (jing) dalam menjalankan peribadatan. Karena peribadatan di samping dilaksanakan untuk bersujud pada sang Pencipta, menghormat pada para shenming dan alam serta berbakti pada leluhur, adalah untuk menyempurnakan proses pembinaan diri, menempuh dao.
Inilah religiusitas yang dibimbingkan oleh Zhisheng Kongzi dan para sheng dalam Rujiao/Kongjiao seperti tercatat dalam kitab Sishu Wujing. (bwt)
Dikutip dari buku Tian dan Sheng dalam Penafsiran Rohaniwan dan Cendekiawan Matakin serta Pengamat Budaya Tionghoa di Indonesia, yang merupakan Tesis Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, karya Uung Sendana L. Linggaraja.
KOMENTAR