Apakah untuk menjadi kaya dan banyak duit, satu-satunya cara hanya dengan menjadi pelit?
oleh: Budi Wangsa Tedy |
“Wah, apa gak boros, Jer, makan terus di luar?” tanyaku penasaran.
“Gak juga. Sekarang kan banyak promo makanan, dari grab, ovo, go-food, dana, jenius, dan kawan-kawannya. Setiap hari bisa berhemat lumayan banyak kalau memanfaatkan itu semua,” ujarnya dengan bangga.
Oh begitu, tukasku sekenanya. Ribet amat ya setiap makan kudu cari yang sedang promo doang, pikirku dalam hati. Tapi ya sudahlah, itu pilihan jalan hidup dia. Saya gak ambil pusing lebih jauh.
Beberapa hari kemudian, masih di grup itu, Jeri rupanya membatalkan pesanan bakso goreng ke teman lain di grup itu juga.
“Kenapa batal, Jer?” tanya Feny si penjual bakso goreng—yang juga teman SMA dulu.
“Ongkos go-send dari tempat elu ke kantor saya 15 ribu. Istri saya gak setuju. Bakso 10 buah 55 ribu, sedangkan ongkosnya 15 ribu. Kemahalan, jeh. Next time aja ya?” jawab Jeri.
Waduh. Saya mulai gatal pengen ikutan komen.
“Lima belas ribu gak akan bikin si gojek jadi kaya, Jer. Dan gak akan juga bikin elu miskin,” tulisku di grup.
Jeri hanya ketawa, “Mending duitnya ditabung ah. Over budget kalau segitu sih.” Sabar luar biasa emang temanku yang satu itu.
Penghematan yang keterlaluan menurut saya. Apakah untuk menjadi kaya dan banyak duit, satu-satunya cara hanya dengan menjadi pelit?
Jadi apakah hanya itu jalan menuju kaya? Berhemat luar biasa? Mengenai prinsip bahwa uang lebih baik ditabung daripada dipakai foya-foya, saya setuju itu. Tapi mengeluarkan uang tidak semata foya-foya. Bagaimana halnya dengan berderma? Bersedekah kepada yang kurang beruntung? Traktir teman makan? Apakah harus dihemat juga?
Saya agak keberatan jika 15 ribu ongkos go-send disebut pemborosan. Bahkan jika memesan makanan melalui go-send, saya selalu melebihkan pembayaran ke Pak Gojek sampai ke puluhan ribu terdekat.
“Ah, kalau Pak Budi kan orang kaya, duit segitu gak jadi masalah,” protes Jeri.
“Ini bukan masalah penghasilan, Jer. Dari gaji gue cuman 800 ribu sebulan, saya sudah begini. Urusan berderma, traktir temen makan, gak pernah berhitung. Mungkin terkesan boros, tapi yang saya sedang tabung adalah berkah saya di surga (lebih mudah berargumen dengan umat lain jika kita menggunakan istilah mereka). Buat saya harta duniawi cuman titipan.”
Di awal-awal pernikahan kami, istriku yang cantik sering ngomel terhadap kebiasaan saya yang satu ini, apalagi waktu itu gaji bulanan pas-pasan.
“Boros amat sih pakek bayar-bayarin segala? Buat sendiri aja belum tentu cukup,” begitu protesnya.
Tapi saya punya keyakinan, uang bisa dicari, kesempatan menabung berkah belum tentu datang setiap kali. Saya yakin, semua yang saya beri akan kembali dan menjadi berkah. Satu hal yang wajib diingat, berkah belum tentu instan datangnya. Bisa jadi berkah itu tidak akan datang dalam kehidupan sekarang yang kita jalani, mungkin saja nanti hanya anak atau pun cucu yang menikmati.
“Tuman tau gak kalau keseringan. Nanti dimanfaatkan orang cari makan gratis!”
“Jika dimanfaatkan orang, itu adalah urusan dia dengan Tuhannya sendiri. Urusan saya dengan Tuhan saya sudah beres.” Kadang (baca: sering) saya memang agak keras kepala jika sudah berhubungan dengan prinsip hidup.
Kini istriku yang cantik sudah paham dan beruntung kami dapat merasakan sendiri berkahnya. Kami kompak kalau urusan bayar membayari makan. Begitulah seyogyanya pernikahan yang baik, saling melengkapi dan saling memahami untuk terus belajar bersama. Banyak hal juga yang saya bisa pelajari dari pasangan saya.
Satu trik kehidupan yang jarang orang sadar, bahwa salah satu jalan untuk banyak menerima adalah dengan banyak memberi.
Seperti kata Anne Frank dalam diarinya:Walau Bill Gates mendonasikan jutaan dolar untuk orang lain, saya yakin saya memberi sudah lebih banyak dari beliau. Karena yang dia donasikan hanya sepersekian dari seluruh kekayaannya, sedangkan yang saya berikan adalah seluruh yang saya punya. Tuhan tidak akan melihat seberapa besar nilai yang kita berikan, tapi seberapa tulus kita memberi. Maka, jangan menunggu kaya untuk memberi, berilah sekarang apa yang mampu kau berikan.
"No one has ever become poor by giving."
Belum pernah ada orang yang jadi bangkrut gara-gara memberi.
Gak mudeng saya minta penjelasan lebih lanjut, “Jadi elunya sih duduk di dalam Atmosphere, Jer?”
“Iya.”
“Terus pesanan go-food dikirim ke resto itu juga? Nol kilometer?”
“Iya.”
"Kiriman Nol Kilometer apa enggak bikin driver gojeknya di-suspend karena berindikasi kecurangan?"
"Entahlah. Sudah sering kok begini, dan masih diterima orderannya."
“Berarti elu bongkar dong bungkusan makanannya di sana?”
“Enggak. Saya pesannya dalam bentuk dine-in. Di piring.”
“Eh? Boleh emang sama si restorannya?”
“Boleh. Saya sudah tanya dulu sebelum duduk apakah bisa pesan lewat aplikasi gojek tapi untuk makan di tempat. Jadi kita bisa tetap makan di tempat dengan harga diskon gojek.”
Oalah… Luar biasa memang si Jeri. Salut dah. Semoga tabungan surgawimu sama banyaknya dengan tabungan duniawi yang sedang kau kejar dengan mengorbankan orang lain. (bwt)
KOMENTAR