oleh: Uung Sendana Linggaraja | GENTAROHANI.COM— Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti webinar (web seminar) tentang agama...
oleh: Uung Sendana Linggaraja |
GENTAROHANI.COM—Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti webinar (web seminar) tentang agama Khonghucu di Indonesia. Salah satu hal menarik yang disampaikan oleh pembicara dari AS adalah bahwa Khonghucu di Indonesia menjadi agama (berbau Abrahamic) karena kondisi politik di Indonesia. Atau dengan kata lain Khonghucu menjadi agama di Indonesia karena faktor politik. Politik yang beriringan dengan kepentingan pemenuhan hak-hal sipil seperti pencatatan pernikahan.
Menanggapi hal ini, salah satu peserta webinar menanyakan untuk menegaskan, "Jadi, Khonghucu di Indonesia menjadi agama karena politik ya?"
Setelah pembicara menjawab secara samar adanya keterkaitan antara kepentingan (politik) dengan agama Khonghucu di Indonesia, sang penanya mengatakan bahwa sebetulnya hal ini tak perlu terjadi kalau kolom agama dalam KTP dihapuskan.
Saya kurang sependapat dengan pembicara dan penanya.
Saya kurang sependapat dengan pembicara dan penanya.
Menurut saya, mereka terlalu menyederhanakan pemahaman dan secara serampangan menarik kesimpulan. Saya meragukan kepakaran dan pengetahuan mereka tentang masalah ini sehingga mereka tidak memandang secara komprehensif dan hanya melihat dari satu sudut.
Pertama, yang perlu disoroti adalah pemahaman mereka mengenai agama. Hingga hari ini tak ada kesepakatan ahli mengenai definisi agama. Agama-agama pun mempunyai pengertian sendiri mengenai apa itu agama, tak terkecuali agama Khonghucu.
Kedua, mengapa mereka memandang seolah-olah umat Khonghucu di Indonesia yang membuat Khonghucu menjadi agama karena kepentingan (politik)? Bukan justru sebaliknya memandang pemerintah Tiongkok menjadikan Khonghucu sebagai filsafat dan bagian dari budaya mereka, karena kepentingan politik di sana yang belum memungkinkan dideklarasikan kembali sebagai agama?
Pertama, yang perlu disoroti adalah pemahaman mereka mengenai agama. Hingga hari ini tak ada kesepakatan ahli mengenai definisi agama. Agama-agama pun mempunyai pengertian sendiri mengenai apa itu agama, tak terkecuali agama Khonghucu.
Kedua, mengapa mereka memandang seolah-olah umat Khonghucu di Indonesia yang membuat Khonghucu menjadi agama karena kepentingan (politik)? Bukan justru sebaliknya memandang pemerintah Tiongkok menjadikan Khonghucu sebagai filsafat dan bagian dari budaya mereka, karena kepentingan politik di sana yang belum memungkinkan dideklarasikan kembali sebagai agama?
Atau mengapa di AS, Khonghucu diupayakan disebarkan dalam bentuknya sendiri, tidak seperti di Indonesia karena kepentingan dan lingkungan berbeda? Dan banyak sudut pandang yang bisa dikemukakan untuk mematahkan argumen mereka.
Sejarah agama dan Tuhan yang telah berjalan ribuan tahun menunjukkan pada kita bahwa semua agama berkaitan erat dengan kepentingan (politik). Bahkan, bagaimana orang memandang dan menyembah Tuhan berkaitan erat dengan kepentingan (politik).
Sejarah agama dan Tuhan yang telah berjalan ribuan tahun menunjukkan pada kita bahwa semua agama berkaitan erat dengan kepentingan (politik). Bahkan, bagaimana orang memandang dan menyembah Tuhan berkaitan erat dengan kepentingan (politik).
Maka kurang tepat bila dalam kasus Indonesia, Khonghucu menjadi agama karena kepentingan (politik) semata. Lebih bijak bila kita melihat suatu ajaran dikategorikan sebagai agama berdasarkan isi dan praktik ajaran itu sendiri.
Dalam sudut pandang apa Khonghucu adalah bukan agama? Saya siap berdiskusi dengan Anda secara keilmuan. Di titik ekstrim, Gusdur mengatakan bahwa penganutnya yang menentukan suatu ajaran diyakini sebagai agama.
Ketiga, pandangan yang mengatakan persoalan agama selesai dengan dihapuskannya kolom agama dalam KTP adalah pandangan yang terlalu menyederhanakan. Dengan dihapuskannya kolom agama di KTP tidak akan menyelesaikan persoalan agama di Indonesia.
Ketiga, pandangan yang mengatakan persoalan agama selesai dengan dihapuskannya kolom agama dalam KTP adalah pandangan yang terlalu menyederhanakan. Dengan dihapuskannya kolom agama di KTP tidak akan menyelesaikan persoalan agama di Indonesia.
Para founding parents kita telah bersepakat mendirikan negara Indonesia sebagai negara berketuhanan, bukan negara agama atau negara sekuler. Ini mengandung konsekuensi yang luas di berbagai bidang kehidupan di Indonesia. Termasuk di dalamnya menyangkut pernikahan, pendidikan, politik, hukum, kenegaraan dan lain-lain.
Tidak percaya? Coba saja Anda catatkan perkawinan Anda di catatan sipil tanpa 'diberkati' berdasar agama. Pasti ditolak.
Coba saja Anda berperkara di Pengadilan, Anda tentu disumpah berdasarkan agama. Begitu pula bila Anda akan menjadi pejabat negara atau pejabat publik.
Mungkin ada yang berargumen, kalau begitu sudah jadikan saja Indonesia negara sekuler seperti Singapura sehingga tak usah repot-repot dengan urusan agama. Jangan lupa, di pihak yang lain ada kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama. Ada aksi ada reaksi.
Anda mau Indonesia menjadi negara agama? Kalau saya tidak mau.
Founding parents kita sudah dengan arif bijaksana memilih jalan tengah. Indonesia tidak memilih keduanya, tapi memilih Indonesia sebagai negara Pancasila.
Founding parents kita sudah dengan arif bijaksana memilih jalan tengah. Indonesia tidak memilih keduanya, tapi memilih Indonesia sebagai negara Pancasila.
Bagi saya negara Pancasila sudah final, sebuah warisan berharga dari para pendiri bangsa.
Beberapa waktu setelah webinar itu saya berkomunikasi dengan penyelenggara. Saya mengatakan tema yang dipilih dalam webinar dengan pembicara tersebut kurang pas sehingga webinar kurang bagus dan dapat menyebabkan distorsi informasi. Lebih tepat bila pembicara tersebut berbicara mengenai ajaran Khonghucu. Hal itu akan lebih bermanfaat.
Beberapa waktu setelah webinar itu saya berkomunikasi dengan penyelenggara. Saya mengatakan tema yang dipilih dalam webinar dengan pembicara tersebut kurang pas sehingga webinar kurang bagus dan dapat menyebabkan distorsi informasi. Lebih tepat bila pembicara tersebut berbicara mengenai ajaran Khonghucu. Hal itu akan lebih bermanfaat.
Penyelenggara sepakat. (bwt)
KOMENTAR