Kadang kita terjebak dengan target harus membaca sekian buku dalam sekian waktu, sehingga kita akhirnya terpaksa membaca dengan begitu cepat.
oleh: Budi Wangsa Tedy |
Ada salah satu buku yang menarik perhatian saya. Judulnya How to Read Slowly, karya dari James W. Sire, yang diterbitkan pertama kali tahun 1978.
Eh?
Kok malah membaca perlahan?
Di zaman teknologi maju seperti ini ketika semua dituntut cepat dan instan, kenapa sekolah ini malah mewajibkan siswa membaca buku dengan judul Cara Membaca Perlahan? Terbit tahun 1978 pula, sekolah ini apa ketinggalan zaman?
Penasaran, buku itu saya culik beberapa hari untuk saya baca. Mumpung Keisha (nama putri saya) belum ditugaskan untuk mulai membaca buku itu. Walau judulnya Cara Membaca Perlahan, tapi rupanya buku itu tidak terlalu panjang. Dalam beberapa sesi membaca saja buku itu sudah tuntas saya baca.
Masih penasaran dengan topik Membaca Perlahan ini, saya melakukan riset lebih lanjut. Tentunya melalui bantuan paman google yang dapat diandalkan.
Rupanya, berdasarkan beberapa penelitian terbaru—dari survey yang dilakukan oleh Scan Mata dari Poynter Institute, dan analisa oleh Jakob Nielsen—kecil kemungkinan Anda akan membaca habis artikel ini sampai tuntas. Jika Anda membaca di majalah, paling hanya setengahnya akan dibaca. Jika baca secara online, paling Anda akan membaca hanya seperlima bagiannya saja dari sebuah artikel.
Di zaman teknologi maju seperti ini ketika semua dituntut cepat dan instan, kenapa sekolah ini malah mewajibkan siswa membaca buku dengan judul Cara Membaca Perlahan? Terbit tahun 1978 pula, sekolah ini apa ketinggalan zaman?
Penasaran, buku itu saya culik beberapa hari untuk saya baca. Mumpung Keisha (nama putri saya) belum ditugaskan untuk mulai membaca buku itu. Walau judulnya Cara Membaca Perlahan, tapi rupanya buku itu tidak terlalu panjang. Dalam beberapa sesi membaca saja buku itu sudah tuntas saya baca.
Masih penasaran dengan topik Membaca Perlahan ini, saya melakukan riset lebih lanjut. Tentunya melalui bantuan paman google yang dapat diandalkan.
Rupanya, berdasarkan beberapa penelitian terbaru—dari survey yang dilakukan oleh Scan Mata dari Poynter Institute, dan analisa oleh Jakob Nielsen—kecil kemungkinan Anda akan membaca habis artikel ini sampai tuntas. Jika Anda membaca di majalah, paling hanya setengahnya akan dibaca. Jika baca secara online, paling Anda akan membaca hanya seperlima bagiannya saja dari sebuah artikel.
Jadi, apakah kita sebagai manusia memang menjadi semakin bodoh?
Kurang lebih memang begitu jika mengacu pada buku The Shallow—karya dari Nicholas Carr, kebiasaan kita di dunia online yang begitu hiperaktif, telah merusak kemampuan mental yang kita butuhkan untuk memproses informasi dalam bentuk teks yang panjang.
Berita-berita di news feed gadget kita, membuat kita terbiasa melompat dari artikel satu ke artikel lain, tanpa sungguh-sungguh memahami isi dari artikel tersebut. Bahkan saya kenal beberapa orang yang hanya membaca judul dari artikel tersebut—yang terkadang justru judulnya sangat menyesatkan, malah seringnya judulnya sekadar clickbait.
Kegiatan membaca kita lebih sering terpotong oleh bunyi notifikasi dari email yang baru masuk. Dan kita lebih sering menyerap kalimat-kalimat pendek dari Twitter dan Facebook, daripada membaca artikel yang panjang.
Artinya apa? Karena menjamurnya internet, kita menjadi sangat ahli dalam mengumpulkan berbagai berita-berita nyata yang menarik dalam berbagai bidang. Tapi kita juga secara perlahan makin melupakan untuk rehat sejenak, merenung, dan menghubungkan semua fakta yang kita dapatkan dengan fakta yang lainnya.
We're losing our ability to strike a balance between those two very different states of mind. Mentally, we're in perpetual locomotion.
Kita kehilangan kemampuan kita untuk mencapai keseimbangan antara dua kondisi pikiran yang sangat berbeda itu. Secara mental, kita bergerak dalam gerakan yang terus menerus terjadi.
—Nicholas Carr
Jadi bagaimana? Memutus hubungan dengan internet sepenuhnya adalah sesuatu yang tidak realistis. Ada beberapa ahli yang menyarankan seminggu sekali mematikan internet, tapi apakah memungkinkan?
Jujur saja, saya sendiri tidak yakin mampu offline dalam waktu cukup lama. Bahkan ketika menulis tulisan ini, saya bolak-balik membaca halaman website mencari bahan pendukung, terlalu sering membaca sepintas, dan menyerap terlalu sedikit. Saya lebih sering membaca buku dalam bentuk pdf atau epub ketimbang hardcopy. Dan juga saya lebih nyaman membaca berita online daripada berlangganan koran. Saya rasa banyak dari kita berada di posisi yang sama seperti itu.
Kembali ke buku Cara Membaca Perlahan tadi. Buku tersebut berargumen bahwa tujuan kita membaca secara hati-hati (alias perlahan), bukan hanya untuk memahami apa yang tertulis di sebuah artikel, tapi juga mengapa artikel itu ditulis. Dengan demikian kita dapat memahami pandangan si penulis, latar belakang pemahaman si penulis, dan juga asumsi dasar si penulis mengenai kehidupan. Jadi kita bisa memutuskan seberapa besar perhatian yang kita berikan kepada artikel mereka.
Buku ini cukup menarik, walaupun sebetulnya buku ini ditujukan bagi Umat Kristiani. Hal ini secara tegas dinyatakan di awal oleh James W. Sire, di mana dia yakin sudah seharusnya orang Kristen menjadi seorang pembaca yang baik, lebih sadar tentang apa yang terjadi di dunia dan apa yang seorang penulis katakan mengenai hal tersebut.
Mestinya kita sebagai umat Khonghucu memiliki semangat yang sama.
Mulailah lebih sering membaca, secara perlahan, dan diresapi dengan mendalam.
Kadang kita terjebak dengan target—yang kita tetapkan sendiri—harus membaca sekian buku dalam sekian waktu, sehingga kita akhirnya terpaksa membaca dengan begitu cepat, tanpa betul-betul memahami apa yang dimaksudkan oleh penulis, baik yang tersurat maupun tersirat. Apa artinya kita bisa menyombongkan diri telah membaca ratusan buku, tapi tanpa mendapatkan manfaatnya dengan baik?
Kapanpun kita mulai membaca, pada akhirnya sebuah tulisan atau buku akan selesai dibaca. Yang penting adalah mulai membaca dan membaca dengan baik. Bukannya seberapa jauh kita membaca dan seberapa banyak buku yang telah dibaca.
Mengenai judul artikel ini yang menyesatkan, Berhentilah Membaca tentu maksudnya adalah berhentilah membaca terlalu cepat tanpa meresapi. Hanya Anda-anda yang membaca habis tulisan ini saja yang bisa memahami. Sisanya akan percaya bahwa Berhenti Membaca adalah pesan yang ingin saya sampaikan. Ha!
Membaca cepat itu sudah basi. Hanya tren tahun 2000-an.
Saatnya kita mulai membaca dengan perlahan. (bwt)
Saatnya kita mulai membaca dengan perlahan. (bwt)
KOMENTAR