Apakah anak kita merasakan kasih sayang orang tuanya? Inilah yang tidak pernah kita tanyakan, dan kita sebagai orang tua tidak mau tahu.
oleh: Etno Frandy |
Di dalam Thai Hak, Bab III: 3, tertulis:"...sebagai anak berhenti pada Sikap Bakti, sebagai ayah berhenti pada Sikap Kasih Sayang..."
Kita sebagai orang tua harus menyayangi anak, dan anak akan berbakti. Sudahkah kita menyayangi anak kita? Kita sering menuntut anak untuk berbakti, sudahkah kita sebagai orang tua berbakti kepada orang tua kita? Kita sering menuntut orang lain, kita sering lupa menuntut diri kita sendiri.
Sudahkah kita sebagai orang tua menyayangi anak kita? Mungkin jawaban kita hampir sama, sudah!
Sudahkah kita sebagai orang tua menyayangi anak kita? Mungkin jawaban kita hampir sama, sudah!
Apakah anak kita merasakan kasih sayang orang tuanya? Inilah yang tidak pernah kita tanyakan, dan kita sebagai orang tua tidak mau tahu dan tidak peduli. Kita merasa sudah kerja keras, pergi pagi pulang malam. Kebutuhan sandang pangan sudah lebih dari cukup.
Apakah semua itu sudah selesai sebagai kewajiban kita?
Jangan-jangan anak kita tidak membutuhkannya?
Mulut kita cuma dua, satu dari ayah dan satu lagi dari ibu. Di luar sana banyak sekali mulut, puluhan dan bahkan ratusan mulut, yang siap mempengaruhi anak-anak kita. Sayangnya, mulut kita lebih sering digunakan untuk memarahi dan menasehati anak-anak kita, yang mereka tidak membutuhkannya.
Kita sering di rumah memainkan peran sebagai hakim, polisi, dan preman. Yang paling dibenci anak-anak. Kita sering menghakimi mereka, itu salah, itu tidak benar, dan menjatuhkan vonis dengan hukuman. Kita juga menjadi seorang polisi, yang sering menginterogasi mereka, kamu di mana, dengan siapa, melakukan apa. Kita sering jadi seorang preman yang seram dan menakutkan mereka, mata melotot, marah, main kekerasan, kalau tidak sesuai dengan keinginan dan keyakinan kita bahwa itu benar, yang menurut mereka itu juga benar.
Inilah menjadi pangkal sikap memberontak anak—yang menurut kita melawan dan memvonis mereka bersalah dan durhaka.
Mulut kita cuma dua, satu dari ayah dan satu lagi dari ibu. Di luar sana banyak sekali mulut, puluhan dan bahkan ratusan mulut, yang siap mempengaruhi anak-anak kita. Sayangnya, mulut kita lebih sering digunakan untuk memarahi dan menasehati anak-anak kita, yang mereka tidak membutuhkannya.
Kita sering di rumah memainkan peran sebagai hakim, polisi, dan preman. Yang paling dibenci anak-anak. Kita sering menghakimi mereka, itu salah, itu tidak benar, dan menjatuhkan vonis dengan hukuman. Kita juga menjadi seorang polisi, yang sering menginterogasi mereka, kamu di mana, dengan siapa, melakukan apa. Kita sering jadi seorang preman yang seram dan menakutkan mereka, mata melotot, marah, main kekerasan, kalau tidak sesuai dengan keinginan dan keyakinan kita bahwa itu benar, yang menurut mereka itu juga benar.
Inilah menjadi pangkal sikap memberontak anak—yang menurut kita melawan dan memvonis mereka bersalah dan durhaka.
Anak-anak bingung karena ada cara pandang yang berbeda di luar rumah dan di dalam rumah. Di luar rumah banyak mulut, banyak pujian, banyak kebahagiaan. Walaupun salah, tapi banyak, itulah diyakini suatu kebenaran. Di rumah cuma dua suara, suaranya keras, mata melotot, bak seorang preman, walaupun itu suatu kebenaran, susah untuk diterima dan dimengerti oleh anak kita.
Tidak mudah untuk menjadi orang tua yang baik dan disenangi anak-anak kita. Seorang konglomerat Bpk. Ciputra, ingin menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya, dia belajar sampai di Amerika dengan seorang psikolog terkenal. Ciputra seorang konglomerat, dari segi materi sudah berlebihan, tapi semangat belajarnya perlu kita teladani. Sedangkan kita menjadi orang tua merasa sudah tidak perlu belajar lagi.
Tidak mudah untuk menjadi orang tua yang baik dan disenangi anak-anak kita. Seorang konglomerat Bpk. Ciputra, ingin menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya, dia belajar sampai di Amerika dengan seorang psikolog terkenal. Ciputra seorang konglomerat, dari segi materi sudah berlebihan, tapi semangat belajarnya perlu kita teladani. Sedangkan kita menjadi orang tua merasa sudah tidak perlu belajar lagi.
Belajar itu penting, untuk mengimbangi ilmu dengan anak-anak kita. Ilmu kita sudah tertinggal dan perlu di-upgrade terus agar bisa mengikuti perkembangan jaman, masih bisa digunakan, dan dihargai oleh anak-anak kita.
Puisi dari Ciputra:
Untuk kamu para orang tua di luar sana
Menjadi orang tua bukanlah perkara yang mudah
Kadang bahkan timbul rasa amarah
Belum lagi terhantui rasa lelah
Mengorbankan diri hingga susah payah
Kami akan terus menyayangi, memeluk, mencium, dan membelaimu.
Percayakan kepada kami, tidak ada maksud untuk menyakiti dan membuat hatimu terluka. Yang ada perasaan sayang mendalam, tidak ingin yang berharga kami rusak, ternoda, dan dihina. Kamu sedih, kami lebih sedih. Kamu sakit, kami jauh lebih sakit.
Kebahagianmu nanti itu tujuan kami. (bwt)
KOMENTAR