oleh: Uung Sendana Linggaraja | GENTAROHANI.COM — Tanpa terasa COVID-19 telah ada dalam kehidupan kita selama lebih kurang 6 bu...
oleh: Uung Sendana Linggaraja |
GENTAROHANI.COM—Tanpa terasa COVID-19 telah ada dalam kehidupan kita selama lebih kurang 6 bulan. Pada saat awal mendengar adanya penyakit akibat virus corona pertama kali pada akhir tahun 2019, kita semua tidak menanggapi sebagai hal yang terlalu serius, bahkan banyak candaan mengenai virus ini.
Namun semuanya mulai berubah ketika terjadi kasus COVID-19 nomor 1, 2 dan 3 yang menjungkirbalikan semua optimisme di atas. COVID-19 mulai merebak dengan cepat dan menjadi pandemi yang menjangkiti hampir semua negara dunia termasuk Indonesia seperti prediksi WHO.
Banyak prediksi ahli mengenai kapan bulan puncak pandemi di negara kita terjadi, tapi sejauh ini semua prediksi itu meleset. Hingga hari ini, pandemi belum memperlihatkan trend menurun bahkan meningkat.
Berbagai kebijakan telah diluncurkan, baik untuk pencegahan dan mengatasi merebaknya COVID-19 maupun upaya mencegah ekonomi jatuh ke dalam jurang resesi seperti terjadi di negara-negara lain. Berbagai upaya mengatasi dan pencegahan COVID-19 hingga kini nampaknya kurang membawa hasil optimal, jauh dari maksimal. Upaya mencegah negara masuk kedalam jurang resesi nampaknya belum menunjukkan hasil menggembirakan, di bulan Oktober kita akan tahu apakah berbagai paket kebijakan ekonomi triwulan ketiga berhasil atau tidak, kita tunggu sambil berupaya membantu sebisa kita.
Nabi Kongzi memberi pesan dalam menjalankan pemerintahan.
Saat menghadapi banyak tantangan, masalah dan hambatan dalam kehidupan saya pribadi, saya adalah orang yang lebih cenderung optimis dan berpikir positif. Namun untuk kasus COVID-19 ini, terus terang saya agak pesimis.
"Jadikanlah dirimu pelopor dalam berjerih payah melaksanakan tugas. Pantang merasa capai. "—Lunyu XIII: 1
Saat menghadapi banyak tantangan, masalah dan hambatan dalam kehidupan saya pribadi, saya adalah orang yang lebih cenderung optimis dan berpikir positif. Namun untuk kasus COVID-19 ini, terus terang saya agak pesimis.
Saya bukanlah seorang ahli ekonomi atau ahli kesehatan masyarakat atau ahli pandemi sehingga saya merasa tidak cukup kompeten memberi penilaian pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah maka saya tidak akan melakukan penilaian.
Berdasarkan pengamatan saya dari pemberitaan, webinar dan kehidupan sehari-hari yang saya jalani, ada beberapa catatan mengenai mengapa pandemi ini tak kunjung teratasi:
COVID-19 entah kapan akan berakhir. Bahkan hingga vaksin telah aman digunakan pada manusia setelah lolos dalam berbagai uji coba, perlu ada perubahan dan penyesuaian perilaku, kebiasaan, dan budaya dalam era new normal.
Dengan pemerintah bertindak sebagai turbin penggerak, sosialisasi tentang hal ini perlu dilakukan dengan masif dan melibatkan kalangan luas yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat bukan saja dilakukan oleh pemerintah. Perlu adanya kerjasama saling menunjang, bahu membahu demi kemanusiaan berbagai kalangan tersebut. Dalam hal ini perlu kesadaran dan perubahan mentalitas, tidak dilakukan secara asal ada dan sporadis seperti hangat tahi ayam.
Tentu upaya perubahan perilaku, kebiasaan, dan budaya tidak cukup dengan sekedar sosialisasi dan himbauan semata apalagi kita tahu semua upaya itu kurang efektif karena mentalitas yang ada. Perlu diikuti dengan penerapan hukum beserta sanksi tegas dan membawa efek jera bagi pelanggar.
- Pemerintah pusat dan daerah kurang kompak dan kurang sigap dalam mengatasi situasi darurat ini sehingga sosialisasi dan penyaluran bantuan tidak berjalan cepat, dan cenderung lambat.
- Birokrasi tidak berjalan efektif sehingga penanganan terkesan lamban.
- Seperti banyak kejadian lain, apa yang dilakukan seperti hangat-hangat tahi ayam. Seringkali upaya-upaya pencegahan di lapangan tidak berjalan efektif. Terkesan ketat di depan, lalu longgar di belakang. Contohnya: pengukuran suhu dan penjagaan di pasar hanya ketat di depan, lama kelamaan longgar bahkan tak ada. Upaya pencegahan dan penegakan hukum terkesan asal ada dan basa-basi.
- Masyarakat salah mengartikan new normal sebagai normal seperti tak ada COVID-19. Hal ini menunjukkan ada kesenjangan komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Belakangan pemilihan diksi 'new normal' disadari kurang tepat karena salah diterima oleh rakyat sebagai 'normal', sudah kembali seperti sedia kala.
- Disiplin masyarakat rendah dalam mematuhi protokol kesehatan.
- Penegakan hukum tak berjalan dengan baik.
- Ada kesan sebagian masyarakat tak percaya atau menganggap enteng COVID-19. Hal ini dipicu adanya berbagai teori konspirasi dan hoax.
- Ada keraguan untuk melakukan tindakan keras pada pelanggar. Sanksi yang diterapkan kurang memberi efek jera, bahkan ada beberapa kejadian pelanggar justru memarahi petugas dan tak ada sanksi atas perbuatannya itu.
- Kebiasaan dan etiket yang ada dalam masyarakat saat bertemu dengan orang lain, misal bersalaman tetap dilakukan karena rasa tidak enak.
- Pimpinan, pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh agama baik yang berada dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan melanggar protokol kesehatan, sehingga tidak memberi keteladanan yang baik pada rakyat. Misalnya dalam penggunaan masker dan pemakaman penderita COVID-19. Kita berkali-kali melihat di medsos, saat blusukan, pimpinan kita berbicara pada masyarakat dengan masker tidak menutupi mulut. Pada kejadian lain, dengan alasan tetap mengikuti protokol dan untuk menghargai jasanya, pemda menyemayamkan terlebih dahulu jenazah pejabat yang terkena COVID-19 di balai kota sebelum pemakaman, pertanyaannya apakah rakyat boleh melakukan hal yang sama? Karena masyarakat awam melihat hal tersebut bisa dan boleh dilakukan.
- Kebanyakan orang tidak mau menunda kesenangan dan melupakan protokol kesehatan. Misalnya: mudik, wisata, nongkrong, dan makan di luar.
- Ibadah. Beberapa pemimpin/rohaniwan agama mempunyai keyakinan tertentu tentang COVID-19 yang justru menyebabkan penyebaran COVID-19.
- Masih banyak lagi hal yang menyebabkan wabah COVID-19 belum melandai, berhubungan dengan budaya yang sebetulnya baik di masa normal tapi justru tidak boleh dilakukan pada masa new normal, misalnya budaya arak-arakan, mencium tangan, cipika cipiki, mengobrol dalam jarak dekat, dll.
Dengan pemerintah bertindak sebagai turbin penggerak, sosialisasi tentang hal ini perlu dilakukan dengan masif dan melibatkan kalangan luas yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat bukan saja dilakukan oleh pemerintah. Perlu adanya kerjasama saling menunjang, bahu membahu demi kemanusiaan berbagai kalangan tersebut. Dalam hal ini perlu kesadaran dan perubahan mentalitas, tidak dilakukan secara asal ada dan sporadis seperti hangat tahi ayam.
Tentu upaya perubahan perilaku, kebiasaan, dan budaya tidak cukup dengan sekedar sosialisasi dan himbauan semata apalagi kita tahu semua upaya itu kurang efektif karena mentalitas yang ada. Perlu diikuti dengan penerapan hukum beserta sanksi tegas dan membawa efek jera bagi pelanggar.
Kita perlu mencontoh keberhasilan Singapura saat mengubah kebiasaan masyarakatnya yang sering meludah dan membuang sampah sembarangan dengan himbauan lalu penerapan hukum dan sanksi keras. Dalam keberhasilan mengatasi pandemi, kita perlu mencontoh negara seperti Tiongkok, Vietnam, Selandia Baru dan Taiwan yang menerapkan hukum dan sanksi tegas, bukan sekedar himbauan dan sosialisasi.
Namun semua itu tidak akan berhasil bila pimpinan tertinggi negeri ini beserta jajarannya tidak bersih. Benar-benar berpihak pada rakyat bukan pada golongan tertentu, mengutamakan penanggulangan pandemi bukan kepentingan politik atau kepentingan lainnya, tahu malu, menaati hukum serta memberi keteladanan.
"... kemana angin bertiup, ke situlah rumput mengarah."—Lunyu XII: 19
Kebijakan apapun yang diambil, apakah PSBB, PSBB transisi, lock down, gas, rem darurat, atau apapun namanya, cara penyebaran COVID-19 selalu sama saja. Yaitu melalui mulut, hidung dan mata, maka perlu kepatuhan pada protokol kesehatan.
Sebetulnya hanya diperlukan 14–21 hari untuk memutuskan rantai penyebarannya. Anggap karena awalnya kurang disiplin, kita dapat menghilangkan penyebaran COVID-19 dalam 2–3 periode siklus, jadi hanya sekitar 1-3 bulan saja, tak perlu berlama-lama. Namun tanpa disiplin dan kepatuhan rantai itu takkan terputus.
Hidup adalah pilihan, tinggal terserah kita bagaimana menjalaninya.
Hidup adalah pilihan, tinggal terserah kita bagaimana menjalaninya.
COVID-19 tak boleh dipandang enteng. (bwt)
KOMENTAR