Sebuah Dialog Imajiner.
oleh: Ws. Budi Suniarto |
GENTAROHANI.COM— Sebentar lagi Guru ulang tahun. Biasanya kami berkumpul bersama di kediamannya, bertemu dengan seluruh muridnya dari semua penjuru, penuh keriuhan kegembiraan.
Hati kian gundah, ritual bertahun-tahun yang sudah membudaya, masa tahun ini tiada? Berontak hati ini memikirkannya, tidak terima.
Satu tahun cuman sekali, masa kita lewatkan begitu saja?
Untuk mengusir kegundahan rasa, sekaligus berupaya mengurangi rasa rindu karena tak bisa bertemu, kuputuskan menelepon Guru. Cukup lama nada suara memanggil berdering, terpikirkan olehku untuk membatalkan panggilan, takut mengganggu istirahat Guru.
Belum lagi niat dilaksanakan, terdengar nada yang lembut khas Guru menyapa, "Haloo...." Suaranya sangat akrab di telinga, terasakan wibawa yang menggetarkan jiwa walaupun tidak saling bertatap muka.
"Wei De Dong Tian, Guru," sapaku segera dengan gembira.
"Xian You Yi De, apa kabarmu, Nak?" jawabnya penuh perhatian dan welas asih.
"Xie Tian Zhi En, saya baik dan sehat, Guru. Semoga Guru juga sehat selalu. Hanya saja ada yang mengganggu pikiranku, membuat gundah hati ini, Guru," ujarku langsung mengeluarkan keluhan hati yang sedang kualami.
"Apa yang membuatmu gundah, Nak? Ceritakanlah. Kadang kegundahan manusia dia sendiri yang membuatnya."
Segera kubuka mata hati, ini dia yang kurindukan. Wejangan Guru tentang kehidupan.
"Begini, Guru. Tahun ini, kami murid-murid tak bisa berkumpul, tak bisa langsung ucapkan selamat ulang tahun pada Guru. Padahal kami tahu hari istimewa ini hanya datang setahun sekali, kami ingin membahagiakan Guru. Kami ingin tunjukan laku bakti kami."
"Anakku, masih ingatkah pada ajaranku? Bagaimana sikap seorang Junzi dalam memutuskan prioritas sebuah keadaan?"
Tak perlu mengingat ingat, aku hafal benar jawabannya, "Tahu Guru, seorang Junzi mengutamakan kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadi atau golongan."
Guru terkekeh di ujung sana, lalu berujar, "Lantas, ulang tahunKu ini mana lebih penting dibandingkan keselamatan banyak orang yang bisa terpapar terjangkit corona karena berkumpul?"
"Tapi, Guru..."
Guru tidak memberi kesempatan berdebat, kembali dia bertanya "Kamu bilang tadi untuk menunjukan bakti padaKu? Masih ingat, apa ajaranKu tentang awal dari laku bakti?"
Wah, kayak-nya Guru sekalian mengetes wawasanku mengenai ajarannya. Pengen tau kali, apakah selama ini aku memperhatikan ajarannya.
"Tahu, Guru. Awal laku bakti adalah menjaga tubuh agar tidak sakit dan tidak dalam keadaan bahaya."
Jawabanku langsung bersambut, "Lah, kalau hanya karena ingin merayakan ultahKu, terus kalian membahayakan diri, abai pada protokol kesehatan, kemudian terpapar virus corona, apakah itu dikatakan berbakti?"
Aku diam, pertanyaan Guru tidak perlu dijawab pun sudah jelas dan gamblang bagiku. Jelas itu bukan laku bakti.
Percakapan terhenti sejenak, sunyi, sampai akhirnya kudengar lagi Guru bertanya, "Kamu bilang para murid ingin membahagiakan Aku?"
Dengan semangat aku menjawab, "Benar, Guru. Tugas kami, sesuai ajaranMu pula untuk membahagiakan yang sudah lanjut usia." Kurasa kali ini aku benar, karena itu ajaran Guru, agar kepada yang muda dibimbing dengan penuh cinta, kepada yang tua harus bisa dibahagiakan, dan dalam pergaulan harus dapat dipercaya.
"Hmm," Guru menghela nafas panjang dan berat, kurasakan ada beban dalam helaan nafasnya, membuatku siaga.
Apa yang salah dari jawabanku, pikirku dalam hati.
Guru lalu berkata, "Aku bahagia bila ajaranKu pada semua muridku, mampu melepaskan mereka dari ruwet dan carut marutnya kehidupan di dunia."
Lalu Guru melanjutkan memberikan pertanyaan yang sama sekali tidak kuduga, "Apakah mereka yang mengaku sebagai muridKu, hidupnya terpelihara? Adakah Rahmat Tian selalu serta? Sudahkan berkah bumi mereka terima?"
Kali ini aku yang menghela nafas berat dan panjang. Karena dalam kenyataannya, banyak temanku yang sama mengaku murid Guru, kehidupannya jauh dari kata terpelihara. Banyak murid Guru yang hidupnya kurang terpelihara, seolah Rahmat Tian tiada serta dan berkah bumi yang dinanti tak juga tiba. Kepahitan selalu membalut kaki memberatkan langkah kehidupan mereka. Akhirnya bukan lantunan doa puji syukur yang terungkap, justru sesal penyalahan dan keluh gerutu acap terucap.
Guru menangkap getaran pikiranku tentang murid lainnya, dan berujarlah dia, "AjaranKu bukan untuk dijadikan bahan pembicaraan semata. AjaranKu mestinya bukan hanya dijadikan hiasan bibir, pemanis kata belaka. Apalagi, ajaranKu hanya digunakan untuk mencari perhatian di medsos dengan maksud mendapat pujian."
"Ya, Guru. Itu namanya Pencuri Kebajikan," sahutku. Lebih baik aku mendahuluinya, daripada keduluan Guru yang menyebutkannya. Karena rasanya akan lebih sakit bila istilah itu terucap dari bibir Guru, yang bagiku adalah sebuah kecaman besar atas tingkah kawan kawanku.
"Bagaimana ajaranKu tentang keharmonisan? Apakah temanmu, murid-muridku, hidup harmonis saling berdampingan?"
Ganti topik rupanya, lebih berat lagi aku menjawabnya. "Saya tidak berani menilai, Guru." Akhirnya kuputuskan kalimat ini menjadi jawabannya.
Karena yang kurasakan, sering banget kita berantem hanya karena sedikit perbedaan. Beda warna selendang, ributnya bukan kepalang. Beda istilah kedukaan, perseteruannya berbulan-bulan, bertahun-tahun bahkan. Beda tata ibadah, eh, ada yang marah-marah.
Sedih bener liatnya, beda sama sosok Guru, dia tidak kukuh, tidak sombong tepuk dada dan menyebut AKU, dan dia tidak berangan-angan kosong. Dan dia tidak pernah memaksakan harus seperti ini atau seperti itu.
Beda banget dengan murid-muridnya. Jangan jangan para murid merasa lebih jago daripada Gurunya. Karena itu mereka sombong.
Mesti tak terucap, saya yakin Guru menangkap pikiranku.
Lalu dengan lembut Dia berujar, "Kalau begitu, bagaimana Aku bisa bahagia? Bahagiaku sebagai orang yang sudah tua, adalah ketika melihat yang muda, mampu tenang damai sentosa dalam hidup, berbekal ajaranKu. Ah, dunia masih ingkar dari Jalan Suci rupanya. Apakah akan sia-sia semua pengorbananKu dalam menyiarkan Ajaran Kuno yang luhur lagi mulia? Sia-siakah ajaran-ajaran kitab kuno yang diturunkan oleh Guru-Guru sebelum aku?"
Nyata benar kesedihan Guru dalam ucapannya.
Aku tertunduk lesu. Sulit mengatakan perasaanku, antara malu atau risau.
Tak berani kulanjutkan dialog imajiner ini.
Aku takut terjebak dalam EGO, seolah aku sudah benar menjalankan ajaran Guru.
Aku hanya bisa berdoa, semoga kuat iman dan satyaku, agar dapat rendah hati, memupuk semangat belajar dari tempat rendah dan terus maju menuju tinggi. (bwt)
30 September 2020
Penyeberangan Merak–Bakauheni
KOMENTAR