Apakah harta berlimpah menjamin sebuah kebahagiaan?
oleh: Etno Frandy |
GENTAROHANI.COM— Ada satu cerita di suatu daerah, hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Ia memiliki rumah seperti istana, perkebunan yang amat luas dan mobil mewah. Sayang, keluarga tersebut tidak memiliki penerus, sudah puluhan tahun mereka belum dikarunia seorang anak. Segala upaya sudah dilakukan, banyak waktu dan uang sudah dihabiskan. Namun, masih belum berhasil dan sudah pasrah.
Saudagar tersebut teringat kepada satu keluarga yang miskin dan memiliki lima anak di daerah tetangga. Kehidupan keluarga tersebut sangat rukun dan harmonis, bapaknya seorang petani dan penganut Konghucu yang taat.
Saudagar tersebut datang ke rumah petani tersebut dan mengutarakan keinginannya untuk mengangkat seorang anak, namun petani tersebut menolak dengan halus. Saudagar tersebut tidak menyerah dan menyusun strategi untuk memiliki anak dari petani itu.
Pada saat petani dan keluarga pergi ke sawah, tinggallah si bungsu di rumah.
Di antara anak petani tersebut, si bungsulah yang masih mengeluh dengan keadaan ekonomi keluarga. Dia malas membantu menggarap sawah dan lebih memilih berdiam dirumah.
Saudagar tersebut berusaha merayu dengan berbagai cara.
Anak tersebut berkata, "Saya mau Imlek."
Saudagar berkata, "Kita juga merayakan Imlek."
"Tapi saya suka daging babi panggang!" lanjut si anak.
"Tenang. Oom dan Tante juga suka daging babi panggang."
"Saya diajarkan sembahyang kepada leluhur," ujar anak petani itu.
"Kita juga sembahyang kepada leluhur," lanjur saudagar tersebut tidak menyerah.
Anak tersebut terdiam.
Di antara anak petani tersebut, si bungsulah yang masih mengeluh dengan keadaan ekonomi keluarga. Dia malas membantu menggarap sawah dan lebih memilih berdiam di rumah.
"Kamu lihat keadaan rumahmu, ini sudah tidak layak untuk didiami. Lebih cocok untuk kandang ayam." Saudagar masih berusaha membujuk, "Masa depanmu akan suram kalau masih ikut keluarga ini. Kami akan sayang kepadamu, seperti orang tuamu sendiri."
Di antara anak petani tersebut, si bungsulah yang masih mengeluh dengan keadaan ekonomi keluarga. Dia malas membantu menggarap sawah dan lebih memilih berdiam di rumah.
"Kamu lihat keadaan rumahmu, ini sudah tidak layak untuk didiami. Lebih cocok untuk kandang ayam." Saudagar masih berusaha membujuk, "Masa depanmu akan suram kalau masih ikut keluarga ini. Kami akan sayang kepadamu, seperti orang tuamu sendiri."
Akhirnya si bungsu memutuskan untuk ikut saudagar tersebut, tanpa memberitahu kepada orang tuanya.
Kehidupan baru dilalui si bungsu dengan penuh kemewahan.
Kehidupan baru dilalui si bungsu dengan penuh kemewahan.
Beberapa tahun dilalui dengan beradaptasi dengan kehidupan yang berbeda jauh dengan yang diajarkan oleh orang tua kandung dan leluhurnya, dan ini sangat menyiksa dirinya.
Ternyata bukan kemewahan yang dia cari dalam hidup ini.
Adalah kehangatan, cinta kasih, dan kesetiaanlah yang dibutuhkannya. Dia tidak mau menjadi pengkhianat bagi leluhurnya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang kepada keluarganya. Apapun yang terjadi.
Sesampainya di rumah, dilihat kedua orang tuanya berdiri di depan pintu, mamanya tersenyum dan meneteskan air mata.
Sesampainya di rumah, dilihat kedua orang tuanya berdiri di depan pintu, mamanya tersenyum dan meneteskan air mata.
Dengan bersujud si bungsu berkata, "Maafkan aku papa mama."
"Bangunlah nak, ini rumahmu," kata papanya, lalu dipeluknya anak tersebut.
"Maafkan papa dan mama juga yang belum bisa membuatmu bahagia," ujar sang mama dengan air mata terurai.
Tiada yang lebih indah...
Tiada yang lebih bahagia...
Selain, berbakti kepada orang tua. (bwt)
KOMENTAR