Sebuah kisah nyata di tahun 70-an.
oleh Chew Kong Giok |
Hari itu adalah hari Pemilu yang pertama dilaksanakan pada masa rezim Orde Baru, dan karena saya tercatat sebagai penduduk Kota Cirebon, maka saya harus pulang jika ingin berpartisipasi nyoblos dalam Pemilu.
Beberapa jam sebelumnya, rekan-rekan di MAKIN Bandung berkali-kali mengingatkan, jika memang berniat kembali ke Cirebon harus segera berangkat. Tapi berdiskusi di Stasion Selatan memang memiliki daya tarik tersendiri.
Tidak terasa malam makin larut dan sudah beranjak menjadi dini hari. Kendaraan umum antar kota sudah tidak beroperasi.
Awalnya saya berpikir akan gagal untuk dapat pulang ke Cirebon dini hari itu.
Untungnya ada sopir yang menawarkan sewa mobil borongan untuk berangkat ke Cirebon. Kebetulan juga ada enam orang penumpang lain yang juga bertujuan sama ke Cirebon. Akhirnya kami sepakat bersama-sama menyewa mobil colt produksi Jepang yang ringan seperti kaleng kerupuk.
Saya segera tersadar dengan penuh dan berusaha keluar dari mobil lewat jendela. Dengan susah payah saya merayap, merangkak naik ke atas tebing jurang, menuju jalan raya dan mencari pertolongan.
Singkat cerita kami berangkat menuju Cirebon.
Dalam perjalanan sebelum memasuki Cadas Pangeran, sopir meminggirkan kendaraan dan berhenti.
"Saya ngantuk sekali, Bapak-bapak. Gantian yang nyetir kenek saja ya?" ujar sang sopir sambil menguap berkali-kali.
Kami pun setuju, mengingat mengendarai mobil saat mengantuk pastinya sangat berbahaya. Saat itu jam menunjukkan pukul 2 dini hari.
Sayangnya ternyata itu keputusan yang juga keliru.
Sang Kenek ini mengendarai mobil dengan sangat cepat. Ngebut, cenderung ugal-ugalan.
Ketika memasuki Cadas Pangeran, di tikungan tajam mobil bablas masuk ke jurang yang dalamnya sekira 50 sampai dengan 100 meter.
Saya yang tertidur dan duduk kursi belakang supir, terbangun mendadak dengan kepala terbentur kaca jendela mobil hingga pecah.
Mobil berguling-guling beberapa kali dan akhirnya berhenti tepat di pinggir sungai.
Saya sudah pasrah kepada Tian, mungkin berakhirlah di sini perjalanan hidup saya.
Antara sadar dan tidak sadar, pada saat itulah saya sayup-sayup mendengar lantunan musik dari lagu Jangan Teralah dalam Hidup.
Lagu ciptaan DXS. Tjhie tersebut terdengar dimainkan oleh sekelompok orang yang berdiri di langit di atas awan. Entah apakah mereka adalah dewa-dewi, para shenming, atau para malaikat. Yang pasti mereka mengenakan pakaian tradisional China, dan juga memainkan alat musik tradisional China.
Demikian indah.
Suara musik inilah yang terdengar.
Ke mana balam terbang, meninggi langit raya.
Lihatlah rimba sana, tempatnya sentosa.
Seekor burung hanya, namun tahulah dia.
Mana tempat berteduh, yang aman dan tentram.
Akhirnya saya berhasil mencapai puncak tebing dan tiba di tepi jalan raya, lalu dengan tertatih berjalan menyusuri jalan raya menuju keramaian.
Tidak lama saya menemukan keramaian, segera saya memberitahukan bahwa telah terjadi kecelakan di belakang. Penduduk sekitar mengarahkan saya untuk menuju ke Puskesmas di Tanjung Sari. Ternyata tidak terasa dahi saya telah sobek terkena benturan kaca jendela mobil. Di Puskesmas, dahi saya dijahit ala kadarnya. Hingga kini bekas luka tersebut pun masih berbekas.
Malam itu saya bermalam di Puskesmas.
Paginya saya mencari kendaraan umum lain untuk pulang ke Cirebon dan puji syukur kepada Tian saya selamat sampai di Cirebon, tidak terlambat untuk menjalankan kewajiban sebagai warga negara dengan berpartisipasi dalam Pemilu.
Konon, menurut penduduk setempat, seluruh penumpang yang lain, termasuk sopir dan kenek, semuanya meninggal dunia.
Dengan kata lain, hanya saya seorang diri yang selamat. Semoga semua korban kecelakaan maut ini mendapatkan kedamaian.
Tian sungguh melindungi. (bwt)
KOMENTAR