oleh: Uung Sendana Linggaraja | GENTAROHANI.COM— Pada saat kasus COVID-19 di tanah air pertama kali terdeteksi menimpa dua warga...
oleh: Uung Sendana Linggaraja |
GENTAROHANI.COM—Pada saat kasus COVID-19 di tanah air pertama kali terdeteksi menimpa dua warga Depok, Jawa Barat dan diumumkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 2 Maret 2020, mungkin Anda dan saya merasa COVID-19 masih jauh dari kehidupan kita.
Seiring berjalannya waktu, kasus penularan terus meningkat semakin cepat dari mulai beberapa, puluhan, ratusan, ribuan hingga kini mencapai belasan ribu orang per hari. Memasuki bulan kesebelas telah lebih dari satu juta orang terinfeksi di Indonesia, seratus juta orang lebih di seluruh dunia.
Dampak buruk dari pandemi ini begitu dahsyat, memporakporandakan berbagai segi kehidupan, walau tentu saja ada pembelajaran positif yang dapat kita petik dari pandemi ini. Manusia mendapatkan uji kesabaran menghadapi kondisi yang dipenuhi ketidakpastian ini.
Dalam situasi seperti ini, persoalan di negeri kita bertambah dengan terjadinya bencana yang datang silih berganti: gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor, topan, dan lain-lain.
Yang berkecamuk dalam hati adalah bagaimana kondisi para penyintas COVID-19 beserta keluarga dan korban bencana alam tersebut? Mereka tentu mengalami berbagai persoalan fisik, psikis, dan spiritual saat mengalami dan pasca mengalami.
Para penyintas tentu tak dapat dibiarkan sendiri, diperlukan aksi sosial-kemanusiaan dan pendampingan dengan berbagai pendekatan baik keilmuan maupun agama, baik fisik, psikis, maupun spiritual-religius.
Dalam aspek spiritual-religius, peranan pemuka agama, termasuk pemuka agama Konghucu sangat diperlukan.
Berbagai upaya dapat dilakukan oleh para pemuka agama, misalnya dengan meninjau terjadinya pandemi dan bencana alam dari aspek spiritual-religius apakah sebagai hukuman, pembelajaran, ujian, hukum alam, dan lain-lain, serta hal-hal yang dapat dijadikan pegangan dan dilakukan oleh penyintas agar penyintas mampu menghadapi dan mengatasi persoalan dengan tepat sesuai keyakinan agamanya.
Dalam kaitan dengan agama Konghucu, para pemuka agama perlu mengetahui dan menguasai berbagai aspek keagamaan seperti sembahyang dan doa, jingzuo, membaca jing dan kidung rohani, serta nasihat-nasihat yang seyogianya diberikan kepada dan dilakukan oleh penyintas saat mereka mengalami pandemi atau bencana. Apa yang perlu mereka lakukan pasca pandemi atau bencana agar tak terlarut dalam kondisi terpuruk, stres atau putus harapan untuk kemudian memperoleh pemulihan dan bangkit dengan ketegaran dan semangat untuk menatap masa depan yang lebih baik.
Tentu diperlukan kemampuan untuk memberi pendampingan dengan baik yang memerlukan skill tertentu, namun semuanya dapat dipelajari. Tak kalah penting adalah mengoptimalkan jejaring yang dimiliki untuk memberi bantuan.
Pandemi dan bencana alam akan terus terjadi di dunia ini sesuai dengan hukum perubahan dan peleburan alam.
Perlu kemauan dan kesiapan dari lembaga dan pemuka agama.
Itulah salah hal penting yang perlu diperhatikan, dipersiapkan dan ditindaklanjuti.
Bukankah cinta kasih itu kemanusiaan?
Pandemi dan bencana alam akan terus terjadi di dunia ini sesuai dengan hukum perubahan dan peleburan alam.
Perlu kemauan dan kesiapan dari lembaga dan pemuka agama.
Itulah salah hal penting yang perlu diperhatikan, dipersiapkan dan ditindaklanjuti.
Bukankah cinta kasih itu kemanusiaan?
Kemanusiaan bukanlah sekedar teori, tapi perlu diwujudkan. (bwt)
KOMENTAR