oleh: Uung Sendana Linggaraja | GENTAROHANI.COM— Saat saya bersekolah dulu, setiap sincia atau Tahun Baru Imlek senantiasa mem...
oleh: Uung Sendana Linggaraja |
GENTAROHANI.COM—Saat saya bersekolah dulu, setiap sincia atau Tahun Baru Imlek senantiasa meminta izin atau membolos.
SD sampai SMP saya bersekolah di sekolah Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian berganti nama menjadi Swadaya.
Persoalan mulai timbul saat saya bersekolah di SMA Katolik. Bukan hal yang mudah untuk membolos atau izin untuk bersembahyang dan merayakan Tahun Baru Imlek ketika itu. Setiap Tahun Baru Imlek senantiasa diadakan ulangan dengan ancaman kalau tidak mengikuti ulangan akan diberi nilai nol.
Ketika itu, kawan-kawan saya yang telah beralih agama, saat ditanyakan apakah merayakan sincia? Mereka selalu mengatakan tidak merayakan sincia karena sudah tidak beragama Konghucu. Itulah realita yang ada ketika itu. Beriringan dengan dikeluarkan larangan merayakan Tahun Baru Imlek secara terbuka di tempat umum oleh pemerintah Orba.
Dapat dikatakan orang-orang Tionghoa ketika itu 'tiarap'. Perayaan Sincia dijauhi dan dianggap sebagai hal membahayakan yang harus disingkirkan jauh-jauh.
Bagaimana dengan umat Konghucu?
Umat Konghucu yang memegang teguh keyakinannya tetap melakukan persembahyangan dan merayakan sincia di rumah dan bersembahyang di kelenteng/bio, Kong Miao, Wen Miao, atau litang.
Yang berpaling dari Agama Konghucu dengan tegas mengatakan sudah tidak merayakan sincia.
Kondisi seperti itu tak mengherankan karena tak mudah menjadi penganut Agama Konghucu, pelajaran agama Konghucu dicabut dari kurikulum Nasional, berangsur-angsur dalam KTP tidak dapat mencantumkan agama Konghucu, kelenteng dilarang untuk dibangun atau diperbaiki kecuali berganti nama menjadi vihara atau TITD, dan secara bertahap pernikahan secara agama Konghucu tak dapat dilangsungkan artinya umat Konghucu tak dapat mencatatkan perkawinannya di catatan sipil.
Banyak lagi perlakuan tidak adil terhadap umat Konghucu baik oleh pejabat pemerintah, sekolah, RW, RT, relasi, dan kolega. Hal tersebut saya alami di masa-masa kecil, remaja hingga beranjak dewasa. Bahkan di rapor SMA saya, setelah nomor induk siswa diberi garis miring KHC dengan nada ancaman dari salah seorang guru. Benar-benar bentuk intimidasi dan perlakuan tidak adil terhadap seorang siswa yang jujur mengakui agama yang dianutnya. Dalam KTP saya juga dipaksa untuk mencantumkan agama yang tidak sesuai dengan agama yang saya yakini atau dengan tanda (—).
Kondisi mulai berubah dengan dikeluarkan Keppres No. 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres 14 Tahun 1967. Walau pada faktanya perlu pergantian dua presiden sebelum perkawinan secara Agama Konghucu dapat dicatatkan dan pendidikan Agama Konghucu mulai bisa diajarkan di sekolah dan Perguruan Tinggi. Walaupun sebenarnya hambatan terus dilakukan hingga kini yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu karena khawatir umatnya beralih.
Yang berpaling dari Agama Konghucu dengan tegas mengatakan sudah tidak merayakan sincia.
Kondisi seperti itu tak mengherankan karena tak mudah menjadi penganut Agama Konghucu, pelajaran agama Konghucu dicabut dari kurikulum Nasional, berangsur-angsur dalam KTP tidak dapat mencantumkan agama Konghucu, kelenteng dilarang untuk dibangun atau diperbaiki kecuali berganti nama menjadi vihara atau TITD, dan secara bertahap pernikahan secara agama Konghucu tak dapat dilangsungkan artinya umat Konghucu tak dapat mencatatkan perkawinannya di catatan sipil.
Banyak lagi perlakuan tidak adil terhadap umat Konghucu baik oleh pejabat pemerintah, sekolah, RW, RT, relasi, dan kolega. Hal tersebut saya alami di masa-masa kecil, remaja hingga beranjak dewasa. Bahkan di rapor SMA saya, setelah nomor induk siswa diberi garis miring KHC dengan nada ancaman dari salah seorang guru. Benar-benar bentuk intimidasi dan perlakuan tidak adil terhadap seorang siswa yang jujur mengakui agama yang dianutnya. Dalam KTP saya juga dipaksa untuk mencantumkan agama yang tidak sesuai dengan agama yang saya yakini atau dengan tanda (—).
Kondisi mulai berubah dengan dikeluarkan Keppres No. 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres 14 Tahun 1967. Walau pada faktanya perlu pergantian dua presiden sebelum perkawinan secara Agama Konghucu dapat dicatatkan dan pendidikan Agama Konghucu mulai bisa diajarkan di sekolah dan Perguruan Tinggi. Walaupun sebenarnya hambatan terus dilakukan hingga kini yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu karena khawatir umatnya beralih.
Keppres dikeluarkan oleh Presiden Gusdur karena izin perayaan Tahun Baru Imlek Nasional dan Capgome Nasional yang akan diselenggarakan pertama kalinya setelah era reformasi oleh MATAKIN terganjal Inpres 14 Tahun 1967.
Sekarang semua berubah, sejarah perjuangan umat Konghucu untuk memulihkan hak-hak sipil yang berimplikasi pada seluruh kebijakan pemerintah terhadap masyarakat Tionghoa seakan dengan sengaja dilakukan pengaburan oleh kelompok masyarakat tertentu.
Dengan tanpa malu-malu orang-orang Tionghoa yang sudah tidak beragama Konghucu ikut merayakan sincia/Tahun Baru Imlek. Tapi celakanya dengan sistematis berupaya mengubah penanggalan Khong Tjoe (Kongzili)—yang sejak ratusan tahun yang lalu digunakan di Indonesia—dengan penanggalan Masehi atau HE.
Tanpa malu-malu pula klaim inkulturasi dan klaim-klaim lain digembar-gemborkan beberapa kelompok keagamaan dengan misi yang diusungnya dengan tujuan Hari Raya Tahun Baru Imlek bukan sebagai hari raya keagamaan—walaupun sejarah, kitab suci dan perundangan menyatakan sebaliknya.
Sekarang semua berubah, sejarah perjuangan umat Konghucu untuk memulihkan hak-hak sipil yang berimplikasi pada seluruh kebijakan pemerintah terhadap masyarakat Tionghoa seakan dengan sengaja dilakukan pengaburan oleh kelompok masyarakat tertentu.
Dengan tanpa malu-malu orang-orang Tionghoa yang sudah tidak beragama Konghucu ikut merayakan sincia/Tahun Baru Imlek. Tapi celakanya dengan sistematis berupaya mengubah penanggalan Khong Tjoe (Kongzili)—yang sejak ratusan tahun yang lalu digunakan di Indonesia—dengan penanggalan Masehi atau HE.
Tanpa malu-malu pula klaim inkulturasi dan klaim-klaim lain digembar-gemborkan beberapa kelompok keagamaan dengan misi yang diusungnya dengan tujuan Hari Raya Tahun Baru Imlek bukan sebagai hari raya keagamaan—walaupun sejarah, kitab suci dan perundangan menyatakan sebaliknya.
Tujuannya tentu agar mereka bisa mempertahankan umat dari kalangan Tionghoa yang pada dasarnya mempunyai akar agama, tradisi dan way of life Konghucu. Dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan di kelompoknya dihembuskan isu bahwa Konghucu adalah kepercayaan, bukan agama.
Lengkap sudah semuanya berpadu dengan upaya kelompok Tionghoa yang sejak tahun 2007 berupaya merebut perayaan tingkat Nasional Tahun Baru Imlek dari tangan MATAKIN sehingga terkesan ada dualisme penyelenggaraan tingkat Nasional: perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional dan perayaan capgome Nasional pada tahun 2008.
Lengkap sudah semuanya berpadu dengan upaya kelompok Tionghoa yang sejak tahun 2007 berupaya merebut perayaan tingkat Nasional Tahun Baru Imlek dari tangan MATAKIN sehingga terkesan ada dualisme penyelenggaraan tingkat Nasional: perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional dan perayaan capgome Nasional pada tahun 2008.
Padahal perayaan capgome tingkat Nasional tersebut dapat terselenggara atas seizin Ketua Umum Matakin ketika itu yang ditelpon oleh Menteri Agama ketika itu atas nama Presiden. Ketua Umum atas dasar perasaan tidak enak dan menjaga persatuan dengan kelompok pengusaha Tionghoa memberi lampu hijau.
Akhirnya sejak 2 tahun yang lalu, yaitu tahun 2019 perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional yang dihadiri presiden berhasil direbut dari Matakin—setelah sebelumnya selama 4 kali Presiden RI tidak menghadiri perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional yang diselenggarakan MATAKIN dengan berbagai alasan yang awalnya masuk akal tapi pada akhirnya kita tahu bahwa alasan yang dikemukakan adalah alasan yang dibuat-buat, karena ada pihak-pihak tertentu yang terus berupaya mengganjal dan merebut.
Akhirnya sejak 2 tahun yang lalu, yaitu tahun 2019 perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional yang dihadiri presiden berhasil direbut dari Matakin—setelah sebelumnya selama 4 kali Presiden RI tidak menghadiri perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional yang diselenggarakan MATAKIN dengan berbagai alasan yang awalnya masuk akal tapi pada akhirnya kita tahu bahwa alasan yang dikemukakan adalah alasan yang dibuat-buat, karena ada pihak-pihak tertentu yang terus berupaya mengganjal dan merebut.
Kenapa saya mengatakan alasan yang dibuat-buat? Karena pada tahun 2017 Presiden berjanji kepada saya dan beberapa pengurus MATAKIN yang ketika itu beraudiensi dengan Presiden di Istana Negara akan hadir pada perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional 2569 Kongzili yang diadakan MATAKIN, namun pada saat penyelenggaraan, ternyata presiden memilih menonton film Dilan. Sungguh luar biasa. Ngono yo ngono nanging ojo ngono.
Bagi saya itu merupakan tindakan diskriminatif yang merendahkan MATAKIN dan umat Konghucu yang tidak seharusnya dilakukan oleh Kepala Negara sebuah negara Pancasila. Mudah-mudahan tidak sengaja dilakukan.
Bagi saya itu merupakan tindakan diskriminatif yang merendahkan MATAKIN dan umat Konghucu yang tidak seharusnya dilakukan oleh Kepala Negara sebuah negara Pancasila. Mudah-mudahan tidak sengaja dilakukan.
Berbeda sekali dengan Presiden sebelumnya yang selalu hadir pada perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional. Pada tahun 2007 ketika upaya merebut perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional oleh kelompok orang Tionghoa dengan tagline Perayaan Tahun Baru Imlek Indonesia Bersatu sebagai perayaan Imlek pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia dan gencar dipromosikan di sebuah stasiun TV.
Satu hari sebelum penyelenggaraan Tahun Baru Imlek Nasional oleh MATAKIN, Presiden mengumpulkan dua pihak berbeda, yaitu MATAKIN dan kelompok tersebut. Dengan tegas Presiden SBY mengatakan akan hadir pada perayaan Tahun Baru Imlek Nasional MATAKIN sebagai Hari Raya Keagamaan Konghucu seperti beliau menghadiri Waisak Nasional umat Buddha, Hari Raya Nyepi Umat Hindu, Hari Natal umat Kristiani, dan hadir pada perayaan Hari Raya Umat Islam.
Di lain pihak beliau akan hadir pada perayaan kelompok tersebut sebagai Peringatan Commemoration 50 tahun hubungan dagang RI-Tiongkok. Saya bersyukur menjadi satu di antara lima orang MATAKIN yang hadir di Istana ketika itu mendengarkan secara langsung. Sejarah akhirnya mencatat sejak tahun 2008 di Indonesia ada perayaan Tahun Baru Imlek Tingkat Nasional dan perayaan Capgome Nasional. Satu jalan tengah yang diambil. Hal yang aneh tapi itulah Indonesia.
Berdasarkan rumor yang beredar, presiden sekarang beranggapan penyelenggaraan dua perayaan ini adalah dualisme perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional, akhirnya entah siapa pembisiknya, beliau lebih memilih tidak hadir di perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional yang diselenggarakan MATAKIN dan memutuskan hadir di perayaan Tahun Baru Imlek tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh kelompok lain, seolah-olah tidak ada lagi dualisme.
Kita tahu perayaan tersebut bukanlah perayaan keagamaan tapi perayaan etnis. Kehadiran Presiden dalam perayaan Tahun Baru Imlek tersebut seakan mempertegas pandangan sebagian kalangan bahwa presiden lebih mengutamakan pembangunan ekonomi dengan mengorbankan bidang lainnya yang sadar atau tidak, apa yang dilakukan mengabaikan keadilan dan sebetulnya—maaf—memalukan.
Keputusan kurang pas karena tak pernah berdasarkan informasi seimbang, hanya mendengarkan orang-orang di lingkaran terdekat beliau. MATAKIN tak pernah diajak bicara mengenai benar atau tidaknya ada dualisme serta mengapa ada perayaan Tahun Baru Imlek Nasional dan Capgome Nasional.
Bagaimana sikap saya?
Bagaimana sikap saya?
Saya kasihan pada Presiden yang telah membuat keputusan kurang pas tersebut. Bukan tak mungkin dalam kasus-kasus ketidakadilan pada penganut agama lain, presiden juga mendapat informasi yang salah sehingga membuat keputusan keliru - karena orang-orang di lingkaran terdekat beliau - tanpa pernah mencoba menggali informasi sendiri kepada pihak-pihak termarjinalkan. Berbeda dengan yang beliau lakukan dengan blusukan saat menggali informasi dalam pembangunan infrastruktur atau hal-hal lain.
Saat Munas MATAKIN saya berupaya agar presiden hadir pada acara pembukaan seperti beliau hadir dalam pembukaan Munas, Muktamar, Kongres, HUT ormas, dan organisasi massa dan majelis agama lain. Tapi sekali lagi nampaknya Presiden tidak cukup memahami mengenai keadilan dan UU, mungkin MATAKIN di mata beliau tak begitu besar manfaatnya bagi kepentingan seorang politisi dan seorang presiden dalam mengerek elektabilitas atau pembangunan ekonomi. Entahlah.
Padahal agama bukanlah diabdikan bagi kepentingan politik atau kepentingan lain, agama bertujuan membimbing umat manusia hidup dalam dao.
Apakah saya kesal? Secara manusiawi tentu saja kesal karena tidak diperlakukan adil.
Saat Munas MATAKIN saya berupaya agar presiden hadir pada acara pembukaan seperti beliau hadir dalam pembukaan Munas, Muktamar, Kongres, HUT ormas, dan organisasi massa dan majelis agama lain. Tapi sekali lagi nampaknya Presiden tidak cukup memahami mengenai keadilan dan UU, mungkin MATAKIN di mata beliau tak begitu besar manfaatnya bagi kepentingan seorang politisi dan seorang presiden dalam mengerek elektabilitas atau pembangunan ekonomi. Entahlah.
Padahal agama bukanlah diabdikan bagi kepentingan politik atau kepentingan lain, agama bertujuan membimbing umat manusia hidup dalam dao.
Apakah saya kesal? Secara manusiawi tentu saja kesal karena tidak diperlakukan adil.
Tapi apa gunanya merasa kesal? Toh hak Presiden mengatur dirinya dan mengambil keputusan. Setiap manusia tentu punya prioritas sendiri. Tak bisa dipaksa.
Bagaimana langkah yang perlu diambil?
Bagaimana langkah yang perlu diambil?
Menurut saya lupakan untuk mengharap kehadiran presiden yang sekarang dalam perayaan Tahun Baru Imlek Nasional MATAKIN. Buang-buang energi, toh ketidakhadiran presiden dalam perayaan Tahun Baru Imlek Nasional MATAKIN tidak mengurangi makna agamis dan kegembiraan dari perayaan Tahun Baru Imlek yang telah diselenggarakan MATAKIN sejak tahun 2000.
Untuk apa memaksa orang yang tidak mau hadir? The show must go on. Ketidakhadiran presiden tidak dapat menghapus hak-hak sipil umat Konghucu di negara Pancasila yang kita cintai.
Daripada berebut Tahun Baru Imlek dengan kelompok-kelompok yang menginginkan sebagai perayaan etnis, saya pikir usulkan saja Hari Lahir Nabi Kongzi sebagai hari libur keagamaan Konghucu dan biarkan Tahun Baru Imlek menjadi hari libur etnis, sambil kita berdoa mudah-mudah tidak akan menimbulkan gejolak tuntutan dari etnis dan suku bangsa lain karena merasa diperlakukan tidak adil dan terkesan Tionghoa adalah etnis istimewa di Indonesia.
Daripada berebut Tahun Baru Imlek dengan kelompok-kelompok yang menginginkan sebagai perayaan etnis, saya pikir usulkan saja Hari Lahir Nabi Kongzi sebagai hari libur keagamaan Konghucu dan biarkan Tahun Baru Imlek menjadi hari libur etnis, sambil kita berdoa mudah-mudah tidak akan menimbulkan gejolak tuntutan dari etnis dan suku bangsa lain karena merasa diperlakukan tidak adil dan terkesan Tionghoa adalah etnis istimewa di Indonesia.
Jangan sampai persoalan berlarut-larut ini mengurangi kegembiraan kita dalam merayakan Tahun Baru Imlek dan menyebabkan keretakan hubungan dengan sesama kita. Jangan sampai Tahun Baru Imlek mendorong pemimpin kita menjadi bingung. Dalam hal Tahun Baru Imlek, umat Konghucu lebih bijak mengalah. Umat Konghucu sudah biasa dipaksa mengalah.
Bagi kita, umat Konghucu, apakah Tahun Baru Imlek menjadi hari libur etnis atau bukan, kita tetap beribadah, memberi penghormatan pada orang tua, dan bersilaturahmi dengan kerabat serta kawan tetap kita lakukan seperti saat kita ditekan dan dimarjinalkan pada zaman orba. Pesta hanyalah pinggiran dan pernak-pernik, bukan inti dari sincia. Selamanya, umat Konghucu tak akan menukar inti dengan yang pinggiran.
Usul perlu diajukan agar umat Konghucu dapat tenang beribadah memperingati Hari Kelahiran Nabi Kongzi dan untuk melihat apakah pemerintah di negara Pancasila ini menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran atau tidak?
Atau keadilan dan kebenaran di negeri ini hanya slogan dan utopia nun jauh di sana? (bwt)
Bagi kita, umat Konghucu, apakah Tahun Baru Imlek menjadi hari libur etnis atau bukan, kita tetap beribadah, memberi penghormatan pada orang tua, dan bersilaturahmi dengan kerabat serta kawan tetap kita lakukan seperti saat kita ditekan dan dimarjinalkan pada zaman orba. Pesta hanyalah pinggiran dan pernak-pernik, bukan inti dari sincia. Selamanya, umat Konghucu tak akan menukar inti dengan yang pinggiran.
Usul perlu diajukan agar umat Konghucu dapat tenang beribadah memperingati Hari Kelahiran Nabi Kongzi dan untuk melihat apakah pemerintah di negara Pancasila ini menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran atau tidak?
Atau keadilan dan kebenaran di negeri ini hanya slogan dan utopia nun jauh di sana? (bwt)
KOMENTAR