Dong Zhong Shu adalah orang yang mencurahkan demikian besar perhatiannya untuk studi kesusasteraan.
oleh: Uung Sendana Linggaraja |
GENTAROHANI.COM—Segera setelah kematian Qin Shi Huang Di, kekaisaran Qin yang mempersatukan Tiongkok dengan kekejaman dan kekuatan bala tentaranya, bergandeng dengan ideologi kaum legalisme yang zalim, kekaisaran Qin mengalami disintegrasi dan kemudian digantikan oleh dinasti Han (206 SM–220 M).
Dong Zhong Shu adalah orang yang mencurahkan demikian besar perhatiannya untuk studi kesusasteraan. Sehingga pernah selama tiga tahun tidak pernah melihat kebunnya.
Ia menulis karya yang cukup panjang Chunqiu Fanlu atau Aliran Embun dari Catatan Kejadian Musim Semi dan Musim Gugur.
Dong Zhong Shu nampak seperti seorang yang hanya memiliki sedikit minat terhadap hal-hal yang berkenaan dengan filsafat. Namun demikian, berdasarkan catatan sejarah ia adalah yang terpenting. Ia sangat berperan dalam membuat ajaran Konghucu menjadi agama dan falsafah resmi Tiongkok pada tahun 136 SM. Supremasi ajaran Khonghucu terhadap ajaran-ajaran lain bertahan hingga tahun 1905. Ia merupakan orang pertama yang mengusulkannya dan yang meminta karya-karya klasik Konghucu (Wujing) dijadikan sebagai dasar ideologis.
Ia juga berperan dalam menciptakan dasar institusional bagi ortodoksi Konfusian ini; sistem ujian Negara di Tiongkok yang termasyhur mulai mengambil bentuk selama kehidupannya. Dengan sistem ini, golongan pegawai pemerintah yang mengatur Negara tidak berdasarkan atas keturunan bangsawan atau kekayaan lagi, tetapi lebih didasarkan atas hasil yang dicapainya dalam serangkaian ujian periodik yang dilaksanakan oleh pemerintah secara serempak di seluruh negeri dan terbuka bagi seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Inilah jasa Dong Zhong Shu.
Apa yang dilakukan oleh Dong Zhong Shu adalah memberikan semacam justifikasi teoritis terhadap aturan sosial dan politik yang baru pada kehidupannya. Menurut dia karena manusia adalah bagian dari alam semesta, maka justifikasi terhadap sikap yang terdahulu harus ditemukan dalam sikap yang kemudian. Ia menggabungkan justifikasi metafisis yang berasal dari mazhab yin yang dengan filsafat sosial dan politik yang berasal dari penganut agama Khonghucu. Ia sepaham dengan mazhab yin yang yang menegaskan adanya interkoneksi yang rapat antara alam semesta dengan manusia.
Dalam mazhab yin yang, alam semesta dipahami sebagai sistem yang terkoordinasi; segala sesuatu saling berhubungan dengan yang lainnya. Di dalam Kitab Yijing (The Book of Changes, Kitab Perubahan), sistem ini dipahami sebagai proses transformasi. Di dalam pemikiran Dong Zhong Shu, kedua ide ini dikembangkan lebih lanjut; alam semesta ini diperlakukan seperti suatu keseluruhan organik. Dalam keyakinannya, hal-hal tidak hanya berkaitan secara umum, namun begitu tepat dan secara rinci; hal-hal tidak saja berubah, namun juga mengaktivasi satu sama lain.
Dong Zhong Shu mengemukakan teori bahwa dengan mengandaikan struktur organis, hal-hal yang sama jenis memberi energi satu sama lain sampai tercapainya harmoni. Hubungan antara manusia dan alam dikecilkan menjadi angka-angka. Alam dapat selalu mempengaruhi manusia melalui isyarat karena kekuatan material yin dan yang mengatur mereka. Faktanya, menurut Dong, manusia adalah miniatur alam semesta; manusia adalah mikrokosmos, alam adalah makrokosmos.
Karena benda selalu saling mengaktifkan satu dengan lainnya, alam semesta ini tidak statis namun dinamis. Ide ini ditegaskan oleh konsep asal (yuan), konsep yang tidak jauh berbeda dari Perubahan. Tai Ji di dalam sistem Perubahan berada pada ranah metafisik, konsep ‘asal’ menemukan artinya yang paling kaya di dalam sejarah dan hubungan manusia.
Menurut Dong, asal berarti fondasi, dan tak ada yang bisa benar kecuali pondasinya benar. Inilah mengapa, menurutnya, “Catatan Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur” (Kitab Chunqiu) dimulai pada hari pertama dalam tahun.
Nabi Kongzi menulis Kitab Chunqiu untuk mencatat peristiwa-peristiwa dari negeri asalnya, Lu dari tahun 722 SM hingga 481 SM, yang akhirnya kemudian dikenal sebagai Periode Musim Semi dan Musim Gugur. Nabi Kongzi mencatat peristiwa-peristiwa tersebut sedemikian rupa dan memberikan penilaian tertentu atas peristiwa-peristiwa tersebut, namun Dong menganggap buku tersebut sebagai hukum untuk dinasti-dinasti di masa depan.
Dalam kacamata Dong, nama-nama yang digunakan di dalam kitab ini adalah kejadian-kejadian pembetulan nama yang menunjukkan kebenaran moral dan politik. Selain itu, kitab ini merupakan perwujudan dari hukum Tuhan. Salah satu alasan mengapa Dong sangat menghormati catatan dalam kitab Musim Semi dan Musim Gugur lebih dari kitab lainnya adalah karena mengacu pada fakta bahwa setidaknya sebagian dari isi kitab memandang hubungan manusia dalam perspektif asal dan apa hasil dari itu—ini merupakan perspektif waktu.
Dalam doktrinnya, alam semesta memiliki sepuluh hal pokok: Langit, Bumi, yin dan yang, lima unsur (kayu, api, tanah, logam, air), dan terakhir manusia. Faktor waktu memiliki hubungan yang tidak biasa dalam sejarah. Ia memandang sejarah bagaikan siklus tiga periode, disimbolisasikan oleh hitam, putih, dan merah.
Menurut pendapat Dong Zhong Shu, Nabi Kongzi, ketika menulis Chunqiu Jing, menggunakan kata-kata yang berbeda atau frase-frase yang berbeda guna mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tiga periode ini. Dengan mempelajari kata-kata atau frase-frase yang digunakan di dalamnya, seseorang bisa menemukan makna esoterik yang terdapat dalam Chunqiu Jing.
Yang unik adalah periode yang benar harus dimulai pada waktu yang tepat. Dalam skema ini, posisi tertinggi berada di tangan raja. Tidaklah mengejutkan, ketika kekuatan kekaisaran berkembang cepat pada era dinasti Han (206 SM – 220 M).
Manusia baik dalam aspek psikologis maupun mentalnya adalah tiruan atau duplikat dari Langit. Keberadaanya jauh lebih tinggi dibandingkan seluruh benda yang lain di dalam dunia. Manusia, Langit, dan Bumi adalah “asal muasal segala benda”. Langit memberinya kelahiran, Bumi memberinya pemeliharaan, Manusia memberinya kesempurnaan.
Berkenaan mengenai bagaimana manusia dapat menyempurnakannya, Dong mengatakan bahwa proses penyempurnaan itu dilakukan lewat li (ritual) dan yue (musik), artinya lewat peradaban dan kebudayaan. Jika tidak terdapat peradaban dan kebudayaan, maka dunia akan tampak seperti karya yang belum selesai, dan alam semesta sendiri akan selalu dalam ketidak sempurnaan. Maka dengan demikian, Langit, Bumi, dan Manusia saling berhubungan satu sama lain seperti tangan dan kaki, mereka bersatu menyelesaikan bentuk fisik, sehingga tak satupun diantara ketiganya yang mungkin untuk dipisahkan.
Karena Langit memiliki yin dan yang, sedangkan manusia merupakan tiruan dari Langit, maka akibatnya alam pikiran manusia juga terdiri atas dua unsur: xing (watak sejati) dan qing (emosi atau perasaan). Dalam hal watak sejati, Dong Zhong Shu sependapat dengan Mengzi yang menyatakan bahwa sifat dasar manusia itu baik. Bagi Dong, nilai budaya yang benar-benar membuat manusia sama dengan Langit dan Bumi, karena menurut Dong budaya merupakan kelanjutan dari watak sejati.
Menurut para penganut Konghucu sebelum Dong Zhong Shu, di dalam masyarakat terdapat lima hubungan manusia yang utama, yaitu hubungan antara penguasa dengan rakyat, ayah dengan anak, suami dengan isteri, kakak dengan adik, serta hubungan teman dengan sahabat.
Di antara kelima hubungan ini, Dong memilih tiga dan menyebutnya kang yang tiga. Secara harfiah kang berarti tali utama pada sebuah jaring, padanya semua tali yang lain digantungkan. Penguasa adalah kang bagi rakyatnya, artinya ia adalah tuan bagi mereka, suami adalah kang bagi isteri, ayah adalah kang bagi anak.
Di samping kang yang tiga, masih terdapat chang yang lima, yang dijunjung tinggi oleh semua penganut agama Konghucu. Chang berarti suatu norma atau yang konstan, dan chang yang lima adalah lima kebajikan yang konstan bagi penganut agama Konghucu, yaitu ren (cinta kasih), yi (kebenaran/keadilan/kewajiban), li (kesusilaan, ritual, aturan tentang perilaku baik), zhi (kebijaksanaan), dan xin (dapat dipercaya).
Chang yang lima adalah kebajikan-kebajikan pada seorang individu, dan kang yang tiga merupakan etika kemasyarakatan. Gabungan kata kang chang memiliki arti moralitas atau hukum-hukum moral secara umum. Manusia harus mengembangkan wataknya sesuai dengan arahan hukum-hukum moral yang merupakan esensi dari budaya dan peradaban.
Teori Dong yang menyatakan bahwa seorang penguasa memerintah lewat Tian Ming (Firman Tuhan) memberikan justifikasi penyelenggaraan otoritas kekaisaran, sekaligus memberikan sejumlah hal tertentu yang membatasinya. Kaisar harus waspada terhadap manifestasi apa yang dikehendaki Tuhan dan apa yang tidak dikehendakinya, dan bertindak sesuai dengannya. Bila sudah tiba masa berakhirnya kekuasaan, ia harus memberikan jalan bagi dinasti yang lain, maka pendirinya pun menerima Firman.
Berbicara secara teologis, ketika terdapat sesuatu yang salah dalam pemerintahan manusia, maka akan menyebabkan munculnya ketersinggungan dan kegusaran Tuhan. Ketersinggungan dan kegusaran Tuhan itu dinyatakan lewat adanya keanehan, seperti gempa bumi, kekeringan, atau kebanjiran. Semua ini adalah cara Tuhan agar penguasa mengoreksi kesalahannya.
Dong adalah seorang guru besar di universitas nasional, orang terhormat yang besar, dan dua kali menjadi menteri. Ia merupakan seorang Konfusianis terhebat di era nya dan beberapa ratus tahun setelahnya.
Pada masa ini, yaitu masa setelah pembakaran kitab-kitab Konghucu pada masa dinasti Qin, timbullah dua mazhab dalam agama dan filsafat Konghucu, yaitu mazhab naskah lama dan mazhab naskah baru.
Disebut mazhab naskah lama, karena ditemukannya kembali naskah-naskah klasik (wujing) sebelum era pembakaran kitab-kitab oleh Qin pada tahun 213 SM, dan karenanya ditulis dalam bentuk naskah yang pada waktu ditemukan kembali naskah-naskah itu dianggap kuno. Mazhab naskah baru karena versi-versinya terhadap karya klasik ditulis dalam bentuk naskah yang secara umum sedang berlangsung selama masa dinasti Han. Kontroversi di antara kedua mazhab ini menjadi salah satu kontroversi yang masyhur dalam sejarah ilmu pengetahuan Tiongkok.
Xs. Tjhie menulis dalam bukunya bahwa, walaupun pada jaman pemerintahan Qin Shi Huang Di umat Konghucu mengalami penindasan dan penganiayaan yang sangat mengerikan, namun tidak berarti mereka lenyap dan patah semangat. Banyak di antara mereka yang berusaha menyelamatkan kitab-kitab suci itu meskipun harus menanggung resiko yang sangat besar. Ada yang menghafalkan baik-baik isi kitab, ada pula yang menyembunyikan kitab-kitab itu di dalam tembok-tembok rumahnya atau menanamnya. Dan mengingat begitu luasnya daerah kerajaan Qin, mustahil semuanya dapat ditemukan petugas-petugas dinasti Qin.
Setelah hancurnya dinasti Qin dan tidak ada lagi larangan, mereka mulai menggali kembali kitab-kitab itu, tetapi karena kitab-kitab itu ditulis pada kepingan-kepingan bambu, di samping ada pula yang ditulis pada sutera, maka banyaklah kitab-kitab itu yang sudah rusak dan tidak terbaca lagi, maka sangat diperlukan orang-orang yang dapat hafal di luar kepala.
Di antara para tokoh dan Boshi agama Konghucu yang terkenal pada waktu itu. Kakek Fu Sheng dari negeri Qi sangat paham dan hafal sehingga dapat menyusun kembali beberapa kitab meskipun tidak lengkap. Di samping sumber di atas, didapat sumber lain yang menunjukkan penjagaan Tian atas kitab-kitab suci itu.
Pada zaman pemerintahan dinasti Han, yaitu pada masa Kaisar Han Wu Di memerintah (140–85 SM), telah ditemukan pada tembok rumah keluarga Nabi Kongzi sejumlah kitab dari kepingan-kepingan bambu yang masih dalam keadaan baik. Berapa lama kitab-kitab itu tersimpan di sana tidak diketahui dengan jelas.
Sulitnya, kitab-kitab itu ditulis dengan huruf-huruf kuno yang sudah tidak dikenal umum lagi, orang lalu menyebutnya Ke Dou Wen (huruf berudu) karena hurufnya menyerupai katak. Keturunan ke–12 Nabi Kongzi, Kong An Guo yang termasyhur sebagai Boshi—yang juga kepala keluarga Kong—berusaha memahami tulisan-tulisan itu dan membandingkan dengan kitab-kitab yang sudah ada, umpamanya dengan teks-teks dari kakek Fu Sheng, akhirnya tulisan kuno itu dapat dibaca dengan baik.
Demikianlah, pada zaman dinasti Han ada dua versi kitab suci agama Konghucu, yaitu versi jin wen (huruf kini) dan versi gu wen (huruf kuno yang didasarkan asal penulisannya). Kedua versi itu pada umumnya hanya berbeda dalam susunan urutan dan jumlah; versi gu wen jauh lebih lengkap dari jin wen.
Fung Yu Lan menduga mazhab naskah baru merupakan kelanjutan dari sayap idealistik (Mengzi) pada masa agama Khonghucu awal, dan mazhab naskah lama dari sayap relistiknya (Xunzi). (bwt)
KOMENTAR