Wang Yang Ming bukan hanya seorang filsuf yang luar biasa, tetapi juga terkemuka sebagai seorang negarawan besar.
oleh: Uung Sendana Linggaraja |
GENTAROHANI.COM—Setelah melewati masa yang cukup panjang, yaitu lebih kurang dua abad, Neo Confucianisme akhirnya pecah ke dalam dua mazhab utama, secara kebetulan dimulai oleh dua orang bersaudara, Cheng Yi (1033 M–1108 M), sang adik membangun sebuah mazhab yang disempurnakan oleh Zhu Xi (1130 M–1200 M) dan dikenal sebagai mazhab Cheng-Zhu atau Li Xue (Mazhab Hukum atau Prinsip).
Sedangkan sang kakak, Cheng Hao (1032 M–1085 M) membangun mazhab lain yang dilanjutkan oleh Liu Qiu Yuan (1139 M–1193 M) dan disempurnakan oleh Wang Yang Ming atau Wang Shou Jen (1473 M–1529 M), dan dikenal sebagai mazhab Lu-Wang atau Xin Xue (Mazhab Jiwa).
Siang dan malam Wang Yang Ming dan temannya berpikir keras dan mendalam untuk memahami dan menghayati qi yang dikandung bambu itu. Setelah tiga hari, temannya putus asa dan mundur. Wang Yang Ming terus melanjutkan sampai tujuh hari, ia jatuh sakit karena lelah mental. Ia tidak mendapatkan hasil apapun dan mengeluh bahwa sifat kenabian tidak dapat tercapai dengan jalan itu.
Ketika Wang Yang Ming berada di Long Chang, para pengikutnya banyak yang jatuh sakit karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan kekerasan hidup disana. Wang Yang Ming sendiri yang merawat mereka, memotong kayu, mengambil air, dan memasak makanan bagi mereka. Untuk meringankan penyakit dan kesengsaraan mereka, ia menceritakan kisah-kisah dan menyanyi bagi mereka.
Dalam kesunyian malam yang tenang, Wang Yang Ming bertanya kepada diri sendiri, “Raja-raja suci purba yang bersifat nabi itu apakah berbuat lebih baik daripada aku dalam hal seperti ini?”
Suatu pencerahan tiba-tiba muncul kepadanya. Makna ‘meneliti hakikat tiap perkara’ dan ‘meluaskan pengetahuan’ menjadi jelas dibenaknya. Ia sadar bahwa Li (hukum/prinsip) itu di dalam diri pribadinya.
Baik Liu Qiu Yuan maupun Wang Yang Ming telah meyakini tentang kebenaran gagasan-gagasan mereka sebagai hasil dari proses pencerahan tiba-tiba, bukan dari hasil meneliti hakikat tiap perkara.
Wang Yang Ming adalah seorang penduduk asli provinsi Zhejiang sekarang ini. Ia bukan hanya seorang filsuf yang luar biasa, tetapi juga terkemuka sebagai seorang negarawan besar yang mempunyai kapasitas dan integritas moral.
Dalam konsepsinya, alam semesta merupakan spiritual yang utuh, didalamnya hanya ada satu dunia, yakni dunia aktual yang konkrit yang kita sendiri mengalaminya, sehingga tidak ada tempat bagi dunia lain dari Li yang sifatnya abstrak (hal yang sangat ditekankan oleh Zhu Xi).
Bagi Wang Yang Ming, Jiwa adalah Li. Substansi jiwa adalah sifat sedangkan sifat adalah Li. Oleh karena itu, sejak adanya jiwa tentang kasih anak, maka sejak itu pula ada Li tentang bakti seorang anak. Jika tak ada jiwa seperti itu, maka tidak akan ada Li semacam itu.
Karena adanya jiwa tentang kesetiaan terhadap raja, maka Li tentang kesetiaan pun ada. Apabila tidak ada jiwa semacam itu maka tidak akan ada pula Li semacam itu. Menurut sistem Wang Yang Ming jika tidak ada jiwa, maka Li tidak ada . Dengan demikian, jiwa merupakan legislator alam semesta sedangkan Li yang dilegislasikan.
Istilah dalam bahasa Tionghoa untuk meneliti hakikat tiap perkara adala gewu dan Cheng Yi serta Zhu Xi menafsirkannya sehingga memiliki makna demikian. Tetapi menurut Wang Yang Ming ge berarti perbaikan dan wu berarti berbagai urusan. Oleh karena itu, gewu tidak berarti ‘meneliti hakikat tiap perkara’, tetapi ‘perbaikan berbagai urusan’.
Menurut Wang Yang Ming memperluas pengetahuan berarti memperluas pengetahuan intuitif. Pengembangan diri tidak lebih dari mengikuti pengetahuan intuitif dan melaksanakan dalam praktik. Ia berpendapat bahwa pengetahuan intuitif tidak dapat diperluas dengan berbagai teknik kontemplasi dan meditasi seperti yang diajarkan dalam Buddhis. Pengetahuan intuitif harus diperluas melalui pengalaman sehari hari yang berkaitan dengan berbagai urusan yang lazim.
Menurut Wang Yang Ming, kesungguhan berpikir tidak lebih daripada perbaikan berbagai urusan dan perluasan pengetahuan intuitif, keduanya dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. Ketika kita tidak mencoba untuk mencari alasan untuk tidak mengikuti arahan pengetahuan intuitif yang kita miliki, berarti kita tidak sungguh-sungguh dalam berpikir dan ketidak sungguhan ini merupakan keegoisan rasionalisasi. Ketika pikiran sungguh-sungguh, maka jiwa diperbaiki, perbaikan jiwa tidak lain daripada kesungguhan dalam berpikir.
Apakah pengetahuan intuitif itu? Pengetahuan intuitif merupakan cahaya batin yang ada dalam jiwa kita, kesatuan alam semesta yang asli, atau dalam Kitab Daxue disebut sebagai kebajikan yang bercahaya. Perluasan pengetahuan intuitif tidak lain daripada perwujudan kebajikan yang bercahaya.
Sumber: Makalah Uung Sendana. Agama Khonghucu dan Filsafat. 2015.
Daftar Pustaka
Istilah dalam bahasa Tionghoa untuk meneliti hakikat tiap perkara adala gewu dan Cheng Yi serta Zhu Xi menafsirkannya sehingga memiliki makna demikian. Tetapi menurut Wang Yang Ming ge berarti perbaikan dan wu berarti berbagai urusan. Oleh karena itu, gewu tidak berarti ‘meneliti hakikat tiap perkara’, tetapi ‘perbaikan berbagai urusan’.
Menurut Wang Yang Ming memperluas pengetahuan berarti memperluas pengetahuan intuitif. Pengembangan diri tidak lebih dari mengikuti pengetahuan intuitif dan melaksanakan dalam praktik. Ia berpendapat bahwa pengetahuan intuitif tidak dapat diperluas dengan berbagai teknik kontemplasi dan meditasi seperti yang diajarkan dalam Buddhis. Pengetahuan intuitif harus diperluas melalui pengalaman sehari hari yang berkaitan dengan berbagai urusan yang lazim.
Menurut Wang Yang Ming, kesungguhan berpikir tidak lebih daripada perbaikan berbagai urusan dan perluasan pengetahuan intuitif, keduanya dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. Ketika kita tidak mencoba untuk mencari alasan untuk tidak mengikuti arahan pengetahuan intuitif yang kita miliki, berarti kita tidak sungguh-sungguh dalam berpikir dan ketidak sungguhan ini merupakan keegoisan rasionalisasi. Ketika pikiran sungguh-sungguh, maka jiwa diperbaiki, perbaikan jiwa tidak lain daripada kesungguhan dalam berpikir.
Apakah pengetahuan intuitif itu? Pengetahuan intuitif merupakan cahaya batin yang ada dalam jiwa kita, kesatuan alam semesta yang asli, atau dalam Kitab Daxue disebut sebagai kebajikan yang bercahaya. Perluasan pengetahuan intuitif tidak lain daripada perwujudan kebajikan yang bercahaya.
Sumber: Makalah Uung Sendana. Agama Khonghucu dan Filsafat. 2015.
Daftar Pustaka
Adams, Daniel J. Cross Cultural Theology. Western Reflection in Asia, diterjemahkan oleh Sutisna, Dachlan dan Hamakonda menjadi Teologi Lintas Budaya, Refleksi Barat di Asia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987)
Chan Wing Tsit, A Source Book in Chinese Philosophy (Princeton University Pers, 1963)
Chen Jing Pan. Confucius as A Teacher. (Beijing: Foreign Languages Press, 1990)
Fung Yu Lan. Sejarah Filsafat Cina. Penerjemah John Rinaldi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Kang, Hosuck, Thomas. Tanya Jawab: Khonghucu dan Konfusianisme. Penerjemah Mulyadi Liang (Tanpa Penerbit dan tanpa tahun)
Lim Khung Sen (ed). Hidup Bahagia dalam Jalan suci Tian. (Jakarta: Gerbang Kebajikan Ru, 2010)
Linggaraja, Uung Sendana, dkk. Modul Mata Kuliah Pendidikan Agama Khonghucu. (Jakarta: Universitas Terbuka 2011)
Matakin. Si Shu, Kitab yang Empat, (Jakarta: Matakin, 2012)
Matakin. Sewindu Mengenang Wafat Js. Tjiong Giok Hwa. (Surakarta: Matakin Pnr, 2012)
Oei Lee T. Chu Hsi dan Anwisika Agama Konfuciani, SGSK: 29/2006 (Sala: Matakin, 2006)
Oei Lee T. Chu Hsi Lestari Tegak Berdiri, SGSK: 27/2004. (Sala: Matakin, 2004)
Oei Lee T. Gagasan-gagasan Baru Chu Hsi, SGSK: 28/2005. (Sala: Matakin, 2005)
Oei Lee T Ketuhanan, Keagamaan, Cinta Kasih, Keibadahan dalam Konfucianisme (Sala: Matakin, 1986)
Rule, Paul A. “Kung-tzu or Confucius? The Jesuit interpretation of Confucianism.” (Wellington: Allen and Unwin New Zealand Limited, 1986)
Suryadinata, Leo. Negara dan Etnis Tionghoa (LP3ES, 2002)
Suryadinata, Leo, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia (Gramedia 1989)
Suryadinata Leo State and Minority Religions in Contemporary Indonesia, Government Policy towards Confucianism, Tridharma, and Buddhism. (Singapore Society of Asian Studies, 1998).
Tjhie Tjai Ing. Panduan Pengajaran Dasar Agama Khonghucu. (Sala: Matakin, 2006)
Js. Tjiong Giok Hwa (penerjemah). Jalan Suci yang Ditempuh Para Tokoh Sejarah Agama Khonghucu. (Sala: Matakin Pnr, 2012)
Tockary, RIP. Pengantar Agama Ru Konfusian, (Bogor: The House of Ru, 2006)
Wibowo, I dan Ju Lan, Thung (ed). Setelah Air Mata Kering. (Jakarta: Kompas, 2010)
Chew Kong Giok, www.faceboook.com/gentarohani
KOMENTAR