Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia.
oleh: Uung Sendana Linggaraja |
GENTAROHANI.COM—Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila menunjukkan pengakuan bangsa Indonesia atas keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan atas keberadaan Tuhan Yang Maha Esa menjadikan Indonesia sebagai Negara Beragama, tetapi bukan Negara Agama.
Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula Negara Teokrasi. Negara beragama berarti melandaskan hidup kenegaraannya berdasarkan nilai-nilai agamis, tetapi negara tidak berdasarkan agama tertentu.
Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian Negara atau pemberian golongan tertentu.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28e, Pasal 28i dan 29 ayat(1) dan (2) menjamin kebebasan setiap warganya untuk memeluk agama yang diyakini, tanpa paksaan dan intervensi negara, atau kekuasaan apapun.
Kebebasan beragama kemudian diatur dalam Pasal 22 UU dan Pasal 55 UU No. 39 Tahun 1999, serta Pasal 18 International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005 Ayat (1) dan (2).
Kendati kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi negara, tetapi kebebasan mengekspresikan agama dibatasi oleh hak-hak orang lain. Kebebasan beragama harus dilaksanakan secara bertanggung jawab sehingga tidak mengancam atau melanggar kebebasan beragama orang lain. Hal ini dimaksudkan agar kebebasan beragama dapat mendukung terciptanya kerukunan umat beragama, bukan malah sebaliknya.
Pasal 1 UU No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan dan/atau Penodaan Agama menyatakan:
Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Seperti kita ketahui penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang No 1 PNPS 1965 antara lain berbunyi”… Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia.
Karena enam (6) macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan pasal ini.
Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini, atau perundangan ini.
Terhadap badan/aliran kebatinan, pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terlepas dari kekurangan atau perlu adanya revisi, UU No 1 PNPS 1965 tentang “Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama” telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi R.I dengan Keputusan No 140/PUU-VIII/2009 tanggal 19 April 2010, sebagai tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945; karena tidak bermaksud untuk membatasi kebebasan orang untuk beragama atau memilah-milah agama menjadi ‘agama yang diakui’ atau ‘tidak diakui’ oleh Negara apalagi menjadikan ‘agama resmi’ dan agama ‘tidak resmi’. Semua agama apakah banyak ataupun sedikit penganutnya di Indonesia diberi jaminan perlindungan dan bantuan Negara sesuai Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang ini sejalan dengan pasal 28J Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945:
- Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
- Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Sejalan pula dengan pasal 18 International Covenant on Civil and Political Rights yang di Indonesia diratifikasi menjadi UU No.12 Tahun 2005 ayat (3):
Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan dan kebebasan mendasar orang lain.
Dengan melihat telah begitu lengkapnya perlindungan terhadap kebebasan beragama beserta aturan-aturan yang membatasi, dengan ketaatan pada hukum dan konstitusi negara seharusnya dapat mencegah bangsa Indonesia dari pertikaian atau kerusuhan bernuansa agama. Namun kenyataannya, hingga saat ini kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat tampil dalam berbagai bentuk kekerasan, penjarahan, dan perusakan terhadap milik pribadi, milik negara bahkan terhadap simbol-simbol keagamaan.
Umat Ru-Konghucu di Indonesia dan dunia pernah—bahkan di beberapa bidang kehidupan masih— mengalami marginalisasi atas hak-hak sipilnya. Alasan yang pernah dan masih mengemuka adalah Konghucu bukan agama.
Pada faktanya, orang-orang mengatakan demikian cenderung sekedar latah, ikut-ikutan, tidak tahu apa yang dia ucapkan, memiliki kepentingan tertentu dan alasan-alasan lain.
Maka relevan bila kita mengkaji untuk memahami apa agama itu.
Istilah agama berasal dari ajaran Hindu aliran Shiwa. A artinya tidak dan gama artinya berubah. Jadi agama artinya kebenaran abadi atau kebenaran perennial.
Umat Buddha lebih cenderung menggunakan istilah Dharma yang berarti Jalan.
Umat Yahudi menggunakan istilah Dat datot artinya hukum agama, karena memang pendekatan agama Yahudi sangat menekankan aspek ketaatan pada hukum agama. Setiap tindakan manusia ada patokan hukumnya.
Istilah Emuna juga digunakan oleh agama Yahudi. Emuna berasal dari kata dasar yang sama dengan Amin, yang artinya yang diyakini. Emuna adalah uraian mengenai keyakinan atau aspek teologi dan filsafat Yudaisme.
Dalam kalangan umat Kristiani digunakan istilah Religion dari akar kata dalam bahasa Latin re-ligare yang artinya mengikat kembali. Premis dasar agama Kristiani, baik Katolik maupun Kristen meyakini bahwa hubungan antara manusia dengan Tuhan telah terputus karena dosa Adam dan Hawa. Agama diturunkan untuk memulihkan hubungan tersebut. Manusia memerlukan Juru Selamat agar manusia dapat menerima haknya kembali sebagai putra Allah.
Komunitas Islam menggunakan istilah Din’nul Islam yang mencakup keseluruhan aqidah, muammalah, dan syariah. Akidah merujuk kepada prinsip tauhid, yakni uraian keyakinan tentang iman dan Allah. Muammalah menguraikan hubungan kemasyarakatan, sedang syariah adalah hukum Islam dengan segala uraiannya. Al-Din secara kebahasaan berarti hubungan antara dua pihak, dimana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang kedua. (RIP, 2006)
Dalam kitab suci agama Ru-Konghucu, Agama atau Jiao membimbing manusia untuk menempuh Dao (Jalan Suci), yaitu bagaimana manusia mengikuti Firman Tian, berupa benih-benih kebajikan karunia Tian dalam watak sejatinya dan mengendalikan nafsu-nafsu yang menyertai dalam diri setiap manusia.
Para akademisi, para ahli filsafat, dan ahli agama terus mencoba mendefinisikan agama yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Definisi yang bersifat umum. Para ahli memperlakukan seolah-olah kekompleksan agama, dalam hal tertentu dapat dikurangi sehingga menjadi segi tersendiri, yaitu segi inti kehidupan manusia. Dalam pandangan ini, agama adalah hal kemampuan atau segi kehidupan sehari-hari manusia yang dipertinggi; agama adalah seni dan teori penghidupan sebelah dalam manusia; agama adalah kepercayaan akan hakikat-hakikat rohaniah, perasaan tergantung yang mutlak; dan agama pada intinya bersifat perseorangan dan individualistik.
- Definisi yang menitikberatkan pada pengalaman rohani yang kudus, yang dialami oleh seseorang karena adanya suatu kekuatan yang terletak jauh di luar manusia. Dalam ‘suasana terbatas’ ini manusia menerima kekuatan spontan atau mengalami kejadian yang luar biasa. Manusia menerobos ‘suasana terbatas’, tempat seseorang didorong oleh dirinya, pikirannya dan peristiwa penghidupannya dan memisahkan diri dari ‘disini dan sekarang’. Dalam pandangan para ahli ini, kehidupan terdiri atas dua hal yang sama sekali berbeda, dua kategori yang secara mutlak bertentangan, antara yang ‘suci’: berkuasa dan kudus, dan yang ‘kafiri’: biasa, duniawi, dan kesehari-harian.
- Definisi yang menitikberatkan agama sebagai dimensi dalam segala fungsi kehidupan rohaniah seseorang. Pusat perhatian Agama mencakup segala fungsi kreatif pada lingkup manusia, lingkup kesusilaan, lingkup pengetahuan dan fungsi estetika. Agama adalah zat dasar dan mendalamnya kehidupan rohaniah seseorang.
- Definisi yang menitikberatkan definisi pada perhatian dan penelitian makna dasar kehidupan dan hasil pengejaran manusia. Dalam definisi ini, mempelajari agama sebenarnya mempelajari orang-orang.
- Masih banyak definisi agama dengan titik berat perhatian pada hal yang berbeda-beda.
Tidak mudah membuat definisi pada sesuatu yang kompleks; agama yang satu berbeda dengan agama yang lain, baik bentuk, cara dan struktur pengajarannya. Maka pengertian agama tentu saja berbeda-beda dan tidak sama satu dengan lainnya, dan tidak dapat dipaksakan untuk sama.
Standar suatu agama tidaklah tepat untuk digunakan dalam menilai agama lainnya. Segala upaya menyamakan atau memaksakan pengertian suatu agama, berarti melakukan intervensi terhadap kekuasaan Tian.
Sebetulnya agama dalam keaneka warnaannya yang hampir tak terkirakan, lebih memerlukan deskripsi dari pada definisi. (Lee T Oei, 1986)
Adalah penting dan relevan untuk dicamkan sabda Nabi Kongzi dalam Lunyu XV: 4 "Bila berlain dao (jalan suci), tidak usah saling berdebat." (bwt)
KOMENTAR